Femisida dan Impunitas, Tantangan Perlindungan Perempuan

Kopri PB PMII turut serta dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (8/12/2024). -KOPRI PB PMII-ANTARA

"Mengakhiri impunitas agar korban kekerasan mendapatkan keadilan adalah salah satu kunci penting dalam mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Berbicara mengenai impunitas, maka kita juga berbicara tentang pentingnya penegakan hukum yang kuat," kata Dwi Yuliawati Faiz.

Untuk menghentikan impunitas, salah satunya dengan mendorong dan memperkuat implementasi hukum.

Menurutnya, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan langkah signifikan yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan impunitas.

BACA JUGA:Meramalkan Resesi Ekonomi dengan Sebuah Lipstik

Berdasarkan laporan Gender Snapshot tahun 2024 yang dilakukan oleh UN Women dan UN Desa (Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa) mencatat bahwa negara-negara yang memiliki perangkat hukum termasuk UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga melaporkan tingkat kekerasan terhadap pasangan yang lebih rendah, turun hingga 9,5 persen dibandingkan dengan negara-negara yang tidak memiliki UU tersebut.

Femisida

Femisida merupakan tindak pidana kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan.

Selama 2024, sejumlah kasus femisida  terjadi di Indonesia dengan berbagai motif.

Istri dibunuh suami, perempuan dibunuh mantan suami siri, perempuan dibunuh kekasihnya, hingga pekerja seks dibunuh pelanggan.

Femisida didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya.

Tindakan itu terjadi karena masih adanya superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, maupun misogini terhadap perempuan, serta merasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistik.

BACA JUGA:Mikroagresi dan Pedagang Es Teh

Direktur LBH Apik Semarang Rara Ayu Hermawati menilai aparat penegak hukum dalam menangani kasus femisida seringkali tidak menggunakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Sejak UU TPKS disahkan hingga saat ini, masih sedikit putusan pengadilan dalam kasus-kasus kekerasan gender yang menggunakan UU TPKS termasuk dalam kasus femisida.

Hal ini menandakan negara belum memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak korban dalam proses hukum.

Hukum di Indonesia juga belum memberikan definisi tentang femisida dan penanganan kasus femisida.

Tag
Share