Mencari Titik Balik Ketahanan Ekologis Pembangunan
Foto udara kerusakan rumah warga pasca diterjang banjir bandang di Desa Kota Lintang, Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). Bencana banjir bandang yang terjadi pada Rabu (26/11) berdampak rusaknya ribuan rumah, hilangnya hart-Syifa Yulinnas-ANTARA FOTO
BACA JUGA:Harapan di Tengah Program MBG di Perbatasan NKRI
Paradigma baru pembangunan menuntut integrasi infrastruktur fisik dengan green infrastructure sebagai bagian dari kerangka sustainable development. Teori Ecological Modernization (Mol & Sonnenfeld, 2000) menegaskan bahwa modernisasi ekonomi justru harus ditempuh melalui penguatan kapasitas ekologi, bukan dengan mengorbankannya.
Hutan lindung, lahan basah, sabuk hijau pesisir, dan mangrove adalah “mesin ekologis” yang menjaga stabilitas hidrologis dan mencegah kerusakan infrastruktur. Di Sumbar, data Pusat Studi Kebencanaan Unand menunjukkan bahwa daerah banjir dan longsor paling parah berada di kecamatan yang kehilangan lebih dari 35 persen area resapan alami dalam satu dekade. Fakta ini menunjukkan bahwa infrastruktur hijau memainkan peran fundamental sebagai penyangga risiko iklim yang tidak dapat digantikan oleh pendekatan beton dan pengerukan semata.
Riset global juga memperkuat bahwa investasi pada infrastruktur hijau jauh lebih efisien dibanding biaya pemulihan pascabencana. Kajian World Bank (2021) mencatat bahwa restorasi mangrove dapat mengurangi kerugian banjir, hingga $80 miliar per tahun secara global, sementara setiap hektare mangrove yang dipertahankan memberikan manfaat ekonomi setara US$33.000 dari fungsi ekologisnya.
Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan ini sebagai strategi utama pembangunan. Jepang memiliki kebijakan Green Dam Strategy yang memulihkan hutan gunung sebagai sabuk penahan banjir, setelah bencana besar Showa 1959. Belanda, melalui program Room for the River, memindahkan pembangunan dari sempadan sungai dan memulihkan lahan basah untuk menurunkan risiko banjir di wilayah urban. Pendekatan ini terbukti lebih murah, adaptif, dan tahan terhadap perubahan iklim jangka panjang.
BACA JUGA:Penopang Daya Juang Perempuan Migran Asal Pantura di Negeri Sakura
Indonesia, sebenarnya memiliki modal ekologis besar untuk menerapkan strategi serupa, namun selama ini belum ditempatkan sebagai prioritas pembangunan. Degradasi mangrove sebesar 19 persen dalam dua dekade di pantai barat Sumbar membuat tsunami kecil dan pasang tinggi berdampak lebih parah.
Di Aceh dan Sumut, penurunan kualitas daerah aliran sungai (DAS) mempercepat banjir bandang, ketika curah hujan ekstrem meningkat akibat perubahan iklim. Dengan mengadopsi pendekatan green infrastructure, seperti yang dilakukan Belanda, Jepang, dan Vietnam (yang berhasil menurunkan dampak badai tropis melalui restorasi mangrove), Indonesia dapat memperkuat ketahanan ekologinya, tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Justru pembangunan fisik yang bertumpu pada ekosistem akan lebih murah, lebih tahan risiko, dan memberi manfaat jangka panjang bagi generasi berikutnya.
Instrumen fiskal
Salah satu instrumen fiskal yang semakin penting untuk memastikan pembangunan tidak keluar dari koridor keberlanjutan ekologis adalah green budgeting. Dalam konteks bencana besar yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, mekanisme ini berfungsi sebagai pengaman (fiscal safeguard) agar anggaran negara tidak habis untuk membangun ulang infrastruktur yang rusak akibat kerentanan lingkungan.
Melalui green budgeting, APBN dan APBD diarahkan untuk membiayai program mitigasi dan adaptasi iklim, rehabilitasi ekosistem, konservasi daerah rawan, serta penguatan kapasitas masyarakat menghadapi risiko. Dengan instrumen ini, hutan lindung, mangrove, sempadan sungai, gambut, dan lahan basah dapat ditempatkan sebagai mandatory spending, bukan pelengkap anggaran yang sering dikorbankan, ketika fiskal tertekan.
BACA JUGA:Mencari Jalan Tengah Fatwa Pajak Berkeadilan MUI
Namun green budgeting perlu berjalan berdampingan dengan eco-fiscal policy, yaitu desain kebijakan fiskal yang secara aktif mengubah perilaku ekonomi menuju tata kelola lingkungan yang lebih baik.
Eco-fiscal policy bekerja melalui insentif dan disinsentif: menyediakan keringanan pajak atau dana khusus untuk desa konservasi, UMKM hijau, dan industri rendah emisi, sekaligus mengenakan tarif, penalti, atau pembatasan untuk aktivitas yang merusak ekosistem, seperti pertambangan ilegal, alih fungsi hutan di hulu, dan konversi mangrove di pesisir. Pendekatan ini terbukti efektif secara empiris.
Studi di Brasil menunjukkan bahwa ecological fiscal transfers meningkatkan perlindungan kawasan konservasi, hingga 17 persen dalam enam tahun, sementara India berhasil meningkatkan tutupan hutan di Karnataka sebesar 8 persen melalui skema fiskal ekologis yang memberi penghargaan kepada daerah yang menjaga ekosistemnya.
Jika kedua instrumen fiskal ini diadopsi secara sistemik di Aceh, Sumut, dan Sumbar, maka arah pembangunan daerah yang kini rapuh dapat bertransformasi menuju pembangunan yang berbasis ketahanan ekologis.