Sentuhan Panas Bumi Menyajikan Kopi Kamojang hingga Mendunia
Petani dan pekerja Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang memeriksa kualitas biji kopi saat pengeringan menggunakan teknologi rumah kering panas bumi di Desa Laksana, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025)-Feri Purnama-ANTARA
Pria berusia 34 tahun yang disapa dengan nama panggilan Deden itu mendedikasikan hidupnya untuk berbisnis kopi. Dia merupakan mitra yang memanfaatkan program CSR dari PGE. Saat ini dia fokus mengembangkan kopi Kamojang. Produksinya sudah bersaing dengan produk kopi unggulan lainnya di berbagai daerah dan juga mancanegara.
BACA JUGA:Mewujudkan Lembaga Pengawas Independen Sistem Merit ASN
Padahal jauh sebelumnya saat mulai terjun ke bisnis kopi tahun 2015, Deden kerepotan karena harus bergantung pada kondisi cuaca untuk proses pengeringan buah kopi.
Deden bersama sejumlah pegawainya akan sibuk ketika panen kopi tiba. Selain harus mempersiapkan modal juga harus melakukan proses penjemuran buah kopi di hamparan yang membutuhkan lahan luas di bawah terik sinar matahari.
Proses pengeringan kopi secara konvensional bergantung pada kondisi cuaca. Apabila cuaca panasnya normal setiap hari maka bisa menghabiskan waktu 30 hari untuk proses kopi natural. Namun jika kondisinya hujan atau mendung bisa sampai 40 hari atau lebih.
Lebih repot lagi ketika turun hujan secara tiba-tiba. Kopi yang dijemur di hamparan terbuka itu harus segera ditutupi plastik, atau segera dimasukkan ke tempat teduh agar tidak terkena air hujan. Jika terlambat, proses pengeringan bisa saja lebih lama lagi.
Berbeda dengan sistem pengeringan kopi dengan metode pemanfaatan panas bumi yang menurut Deden jauh lebih mudah. Metode itu tidak hanya memangkas biaya produksi, tapi memangkas waktu jadi lebih cepat. Untuk pengolahan kopi natural lama proses pengeringannya bisa sepekan atau paling lama 10 hari.
BACA JUGA:Menghidupkan Kembali Gagasan Komisi Konstitusi
Waktu yang jauh lebih singkat itu, bagi Deden, memberikan keuntungan dalam biaya proses produksi dibandingkan dengan cara konvesional yang harus melibatkan pekerja minimal dua orang dengan upah Rp100 ribu per hari dengan target pengeringan selama 30 hari.
Waktu selama 30 hari itu tentunya pelaku usaha harus mengeluarkan biaya sebesar Rp3 juta. Jika waktunya lebih lama, maka beban upah akan lebih besar untuk sampai menjadi green bean.
Bisnis Sosial
Bagi Deden, pengembangan bisnis kopi dengan pemanfaatan panas bumi itu untuk membangun kewirausahaan sosial yang bisa melibatkan banyak masyarakat dari hulu sampai hilir, tidak ada lagi pihak yang dirugikan, melainkan semuanya untung.
Berkat teknolgi pengeringan itu, biaya yang biasanya digunakan untuk proses pengeringan yang lama bisa dialihkan untuk membeli hasil kopi dengan harga lebih tinggi. Misalkan biasanya ceri kopi Rp16 ribu per kilogram, melalui konsep sosial ini bisa dibeli dari petani dengan harga Rp17 ribu sampai Rp18 ribu per kilogram.
Kerjasa sama yang dibangun oleh PT PGE tersebut tentu diharapkan Deden bisa terus berkelanjutan, sehingga secara berkala memberikan pelatihan budidaya, kemudian pupuk, dan juga bibit untuk peluasan lahan.
BACA JUGA:Menjaga Efisiensi Fiskal di Era Pemerintahan Baru
Cara berbisnis yang dilakukan Deden bersama PT PGE itu dapat mempersempit kesenjangan petani dengan produsen.