Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Dari Rojali Hari Ini, Menuju Pahlawan Finansial Esok Hari

Ilustrasi: Seorang pengunjung melihat produk sepatu di mal Grand Indonesia--(ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/am)

JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM – Di tengah hiruk-pikuk pusat perbelanjaan dan tempat keramaian lainnya, muncul sebuah fenomena sosial yang kian mencuri perhatian: "rojali" alias rombongan jarang beli. Istilah ini tak sekadar candaan di media sosial, tetapi mencerminkan dinamika ekonomi yang lebih dalam.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menilai fenomena ini tak selalu berarti kemiskinan, tetapi bisa menjadi indikator tekanan ekonomi, khususnya di kalangan masyarakat rentan.

“Fenomena rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi ini relevan sebagai gejala sosial. Bisa saja muncul karena tekanan ekonomi, atau sekadar cara untuk menyegarkan diri,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Badan Pusat Statistik mencatat, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 menunjukkan bahwa bahkan kelompok masyarakat kelas atas kini mulai menahan konsumsi.

Fenomena ini tak bisa dipandang sebagai kegagalan moral individu, melainkan sebagai refleksi dari krisis sosial-ekonomi yang lebih luas. Di satu sisi, budaya konsumtif akibat FOMO (fear of missing out) terus mendorong gaya hidup boros. Di sisi lain, jebakan predator digital seperti judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) ilegal menjerat masyarakat dengan utang dan ilusi kekayaan instan.

BACA JUGA:Esensi Pengelolaan Rekening Dormant untuk Ekonomi yang Berkeadilan

Krisis finansial yang melanda generasi muda kini menjelma menjadi lingkaran setan utang dan keputusasaan. Di balik angka statistik, tersimpan realitas yang mengkhawatirkan banyak anak muda yang terjebak dalam pusaran konsumsi berlebihan, penghasilan tak stabil, dan godaan solusi instan yang semu. 

Namun, di tengah tekanan ini, terbuka pula jalan untuk membangun ketahanan finansial yang sejati. Sebuah peluang untuk bertransformasi dari korban keadaan menjadi pribadi yang sadar, berdaya, dan tahan terhadap guncangan ekonomi.

Struktur krisis ini berdiri di atas sejumlah pilar saling terkait yang memperparah keadaan. Pilar pertama adalah tekanan ekonomi yang terus menekan daya beli masyarakat. 

Meski narasi optimisme terus digaungkan, fakta di lapangan menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk menahan konsumsi. Sikap hati-hati ini, sayangnya, juga membuka celah terhadap berbagai tawaran instan yang tampak menggiurkan, namun menyimpan risiko besar di baliknya.

Ketika jalur-jalur konvensional menuju kemapanan terasa semakin sempit dan lamban, godaan untuk menempuh jalan pintas menjadi kian menggoda. Di titik inilah perjudian online (judol) tampil sebagai sirene mematikan. Mengumbar janji kemenangan instan yang justru menyeret banyak orang, terutama generasi muda, ke dalam jurang kecanduan dan kehancuran finansial.

Pilar kedua dari krisis ini adalah kesenjangan serius antara inklusi dan literasi keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkali-kali menggarisbawahi adanya paradoks: akses masyarakat terhadap produk keuangan terus meluas, namun pemahaman mereka terhadap risiko justru tertinggal jauh. 

BACA JUGA:Pemberantasan TPPU & Agenda Keadilan Sosial

Inklusi tanpa literasi telah melahirkan masyarakat yang secara teknis terhubung dengan dunia keuangan digital, namun nyaris buta terhadap cara kerjanya. Mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan finansial berisiko tinggi tanpa perlindungan yang memadai.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan