Polarisasi, seperti arus sungai yang deras, membawa kita hanyut tanpa sempat bertanya, ke mana sebenarnya kita menuju? Dalam kerumunan suara yang saling berteriak, terkadang yang hilang adalah jeda untuk mendengar, dan di situlah bencana bermula. Seperti seorang pengelana yang tersesat di hutan rimba perbedaan, kita lupa bahwa satu-satunya peta yang dapat memandu adalah dialog dengan respek, bukan yang sekadar menyentuh telinga, tetapi yang merasuk ke hati.
Melalui pertemuan-pertemuan di program AFS, penulis menyadari bahwa dunia ini luas, tetapi sesungguhnya penuh simpul yang menghubungkan. Kita hanya perlu keberanian untuk mengurai, tanpa memutuskan apa yang telah ada.
BACA JUGA:Memastikan Subsidi Energi Tepat Sasaran
Di penghujung perjalanan, penulis melihat bahwa polarisasi bukanlah jurang yang tak dapat dilintasi, melainkan sebuah undangan untuk menjadi lebih bijaksana. Mungkin, justru di tengah perbedaan, kita bisa menemukan harmoni yang sejati. Karena setiap konflik menyimpan bermacam ragam pelajaran dan hikmah menghargai perbedaan.
Pada akhirnya, polarisasi adalah tantangan yang membutuhkan keberanian, kerendahan hati, saling menghargai, dan komitmen untuk mencari solusi bersama. Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, “Tidak ada yang lahir dengan kebencian terhadap orang lain karena perbedaan warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Kebencian diajarkan, dan jika seseorang bisa diajarkan membenci, dia juga bisa diajarkan mencintai.”
*) Ares Faujian, America Field Service (AFS) Global Educator dan Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kabupaten Belitung Timur