Menjadi Guru Ala Sunan Drajat

Senin 25 Nov 2024 - 23:07 WIB
Oleh: Dr. Sutejo, M.Hum,

JAKARTA - Pada satu acara arisan guru, sangat jarang kita mendengar kreasi apa yang dilakukan oleh para guru, khususnya guru-guru muda.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mencanangkan Bulan Guru Nasional (BGN). Sudahkah semua guru tahu kalau bulan November, mulai tahun ini dijadikan BGN?

Bagi saya, menjadi guru bukan profesi biasa, tetapi profesi yang luar biasa. Karena itu, mari merefleksikan diri, bagaimana merayakan Hari Guru Nasional (HGN) 2024. Sudah sejauh mana kita berbuat untuk pendidikan negeri dan yang terpenting bagaimana ke depan kita akan berbuat membangun "jembatan" pendidikan yang indah.

Mengukir jiwa

Jika ingin mengoleksi materi dan bersenang ria, jangan memilih profesi guru. Pesan ini, mengingatkan sepasang guru SPG saya yang saya kagumi, Bu Suci dan Pak Patah, yang selalu berpesan dan bercerita saat mengajar. Mendidik, bagi keduanya adalah bercerita, mengulik hikmah dan menyentuh hati secara tidak langsung. Mereka mampu mengulik nilai-nilai di balik budaya luhur di masa lalu.

BACA JUGA:Urgensi Korporasi Menjaga Reputasi di Era Media Sosial

Seakan Pak Patah ingin bercerita dan terus bercerita. Berikut, saya turunkan satu pengalaman kecil yang dilakukan Pak Patah. Saat itu, di papan tulis, Pak Patah menuliskan pitutur luhur orang Jawa, yang dalam perjalanan waktu saya tahu, hal itu merupakan ajaran kesalehan sosial dari Sunan Drajat. Pak Patah, guru bahasa Jawa, menuliskan kalimat-kalimat luhur itu menggunakan bahasa Jawa, tanpa terjemahan.

Tulisan itu begini: "Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan". Setelah itu, beliau bercerita dan bertanya-jawab dengan anak-anak calon guru SD.

Beliau bercerita bahwa apa yang disampaikan itu cocok diajarkan bagi calon guru. Tugas guru adalah tugas sosial yang tidak pernah berhenti, harus terus dilakukan sepanjang hayat, tidak saja di ruang kelas, tetapi dalam kehidupan sosial masyarakat.

Kala itu, jujur, sebagai calon guru SD, belum paham sepenuhnya. Baru setelah puluhan tahun menjadi guru (dosen), benar-benar paham bahwa ajaran Sunan Drajat ini, kiranya penting diresapi oleh para guru. Tugas guru, saya pikir, tidak jauh dari ajaran Sunan Drajat itu.

BACA JUGA:Menyiapkan Guru yang Cakap Menjawab Tantangan Zaman

Pertama, "Mènèhana teken marang wong kang wuta" (Memberikan tongkat kepada orang yang buta). Guru memberikan tongkat kehidupan kepada para murid. Tongkat itu pemandu bagi orang buta. Anak didik ibaratnya “masih buta”, belum tahu sesuatu, maka tugas guru adalah memberinya “tongkat kehidupan”.

Tongkat kehidupan itu berupa ilmu pengetahuan, norma dan aturan, serta pengalaman hidup bermakna. Tugas guru benar-benar menjadi penerang bagi anak didik. Bukan profesi penuh materi yang segala sesuatunya diukur dengan uang dan kebendaan.

Jika melihat realita guru muda mutakhir, barangkali, ajaran Sunan Drajat ini penting direfleksikan ulang sebagai penyentuh jiwa.

Tugas mulia sebagai pemberi “tongkat kehidupan” itu bukan tugas mudah. Kita perlu mengenal di mana "letak kebutaan” anak didik, baru mencarikan “tongkat” dan memberikannya penuh cinta. Alangkah indah ajaran yang disampaikan oleh guru SPG ini.

Kedua, "Mènèhana mangan marang wong kang luwé" (Memberikan makan kepada orang yang kelaparan). Ibarat murid sebagai si lapar, tugas guru memberikan makanan bergizi, sesuai yang dibutuhkan.

Kategori :