Perjuangan Guru di Bondowoso Merayu Siswanya Kembali ke Sekolah

Kamis 25 Jan 2024 - 20:32 WIB
Oleh: Masuki M. Astro

"Dulu ada siswa yang saya jemput tiap hari ke rumahnya, pulangnya saya antar. Alhamdulillah, setelah 15 hari antar-jemput, dia kembali rajin ke sekolah. Itulah kepuasan batin saya sebagai guru kalau berhasil mengajak murid kembali bersekolah," kata Erni.

Meskipun secara umum, masyarakat desa selalu menampakkan sikap ramah, tidak jarang Erni dan guru lainnya mendapatkan perlakuan tidak nyaman ketika kunjungan ke rumah siswa. Orang tua yang tidak lagi mendukung anaknya untuk melanjutkan sekolah, menunjukkan sikap kurang sopan ketika guru datang ke rumah siswa.

Erni bercerita, pernah mendapati ibu siswanya mengamuk di dalam rumah, karena si orang tua tidak setuju dengan upaya guru untuk mengajak siswa kembali bersekolah.

BACA JUGA:Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra

Bukan hanya Erni dan Yulis yang harus berjuang mengembalikan semangat anak-anak muda untuk fokus menyelesaikan sekolah. Guru-guru lain juga melakukan hal yang sama, karena komitmen dan rasa tanggung jawabnya sebagai pendidik.

Mereka juga sering memberikan uang jajan pada murid-murid ketika pada siang hari uang jajan mereka sudah habis, sementara pelajaran masih berlangsung hingga sore hari. Atau pada hari-hari tertentu diadakan acara makan bersama di kelas. Guru yang membawakan nasi dan lauknya.

Pada umumnya, keadaan yang membuat siswa putus sekolah di SMKN 1 Sumberwringin adalah praktik pernikahan dini, terutama jika si anak (umumnya perempuan) sudah terikat pertunangan. Pada kasus anak laki-laki mereka enggan kembali ke sekolah karena memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

Ada murid yang bekerja ikut orang lain sebagai buruh, ada juga yang menyabit rumput untuk pakan ternak. Mayoritas siswa di sekolah itu adalah keluarga petani dan buruh tani yang secara ekonomi termasuk kelas bawah.

Selain itu, ada juga kasus khusus yang membuat guru harus berjuang ekstra untuk mengembalikan anak ke sekolah, salah satunya ada siswa laki-laki yang mengalami luka batin mendalam, akibat perundungan di masa sekolah dasar.

Sebut saja siswa itu bernama Dm. Ia tergolong rajin dan mudah menangkap pelajaran di kelas. Tiba-tiba anak itu tidak masuk sekolah, lebih dari satu pekan tanpa kabar. Setelah mendapatkan informasi tempat tinggalnya, Yulis dan Desi Arisandi (wali kelas), melakukan "home visit" ke tempat tinggal Dm.

Kedua guru itu terkejut mendapat kabar bahwa Dm yang tinggal bersama neneknya itu suka mengamuk saat di rumah. Ia sering memecahkan barang-barang di rumah, termasuk menendang pintu rumah tanpa sebab. Karena ketakutan nyawanya terancam, akhirnya si nenek pindah tinggal ke rumah familinya, dengan meninggalkan Dm hidup sendiri.

Menurut cerita si nenek, Dm sejak kecil sudah berpisah dengan bapak dan ibunya yang sudah bercerai. Bapak ibunya sudah lama tinggal di luar Jawa, sehingga Dm, diasuh oleh si nenek.

Akibat luka batin yang mendalam, Desi dan Yulis kesulitan menggali data kondisi jiwa dari Dm. Si murid itu cenderung diam dan murung ketika diajak bicara. Ketika dilakukan konseling si anak merasa nyaman untuk berkomunikasi, barulah terbuka fakta bahwa Dm sering mengalami perasaan marah tanpa sebab, termasuk pernah muncul keinginan bunuh diri.

Akhirnya, kedua guru memberikan perhatian khusus untuk menyelamatkan jiwa Dm. Lewat komunikasi intensif, diperoleh kesimpulan bahwa Dm "dendam" pada si nenek, karena peristiwa pindah sekolah saat dia masih SD. Mendapati anaknya bercerai, si nenek membawa si cucu Dm pindah ke daerah lain di luar Bondowoso, dengan budaya dan bahasa yang berbeda dengan keseharian Dm.

BACA JUGA:Selanjutnya Perang AS-Iran?

Di sekolah baru itu, Dm sering mendapatkan perundungan dari teman-temannya, karena tidak bisa berbahasa daerah setempat. Kala itu, Dm sempat mengungkapkan keinginannya ke nenek untuk kembali bersekolah di Bondowoso, yang akhirnya terwujud.

Kategori :