Sekitar tahun 1898-1899, sesuai laporan koran Soerabaijasch handelsblad, pemerintah kolonial memberi izin untuk menanam 181.250 pohon kopi baru dengan 30.300 pohon merupakan varietas liberika.
Ribuan pohon kopi itu lantas dibawa ke Karesidenan Cirebon untuk ditanam oleh para pribumi.
Pada masa itu, sebanyak 11.922 keluarga di wilayah Cirebon dan sekitarnya terjerat dalam rantai budi daya kopi yang mengikat.
Selama berbulan-bulan, keuntungan yang dihasilkan untuk ribuan pikul kopi yang diproduksi hanya 35.338 Gulden. Jika dihitung, pendapatan setiap keluarga kala itu cuman berkisar 3 Gulden setahun.
Bukannya untung, angan-angan pemerintah kolonial untuk mengisi kas negara juga tak kunjung terwujud.
Tanam paksa di Karesidenan Cirebon menjadi catatan kelam. Meski begitu, kisah sejarah itu merupakan bagian penting untuk aktivitas budi daya kopi di kawasan Gunung Ciremai.
Petani kopi
Di balik popularitas arabika dan robusta di masa sekarang, ada varietas liberika yang kini sedang dihidupkan kembali di wilayah Kuningan.
BACA JUGA:Perlinsos, Ikhtiar Menaikkan Kelas Masyarakat Pra-Sejahtera
Inisiatif ini digagas oleh Taufik Hernawan, seorang pegiat kopi di Desa Cipasung, Kecamatan Darma, Kuningan, yang berupaya mengangkat liberika sebagai ikon daerah itu.
Liberika pertama kali dibawa ke Jawa oleh Belanda, pada era tanam paksa untuk menggantikan arabika yang rentan hama.
Di desa itu, sisa perkebunan Belanda masih ada dengan keberadaan beberapa pohon tua berusia 80-100 tahun.
Sejak 2017, kelompoknya bertekad mengangkat pamor liberika, meski banyak yang menganggap rasanya kurang enak dibanding kopi lainnya.
Bagi Taufik, kesan ini lebih karena metode pengolahan yang kurang tepat. Ia pun berhasil menemukan teknik yang pas, sehingga liberika bisa menunjukkan rasa buah nangka yang khas.
Kedai sederhana di Cipasung juga disulapnya menjadi tujuan wisata edukasi bagi pengunjung untuk mengenal kopi liberika lebih dalam.
Untuk memperkuat keberlanjutan, kelompoknya pun menerapkan gerakan swadaya dalam proses perbenihan. Bibit liberika disebarkan secara gratis kepada petani lokal untuk membangun lahan tanam bersama.
Walaupun terbatas, kelompok ini mampu menghasilkan 1-2 ton liberika per tahun, terutama dalam bentuk biji panggang dan bubuk.