Perjuangan dan ketekunannya berbuah manis. Pada 2022, produknya disajikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali dan mencuri perhatian delegasi asing yang penasaran akan rasa manis tanpa gula saat menyeruput minuman itu.
Endang dengan bangga menuturkan keunikan rasa itu, datang dari proses fermentasi alami selama 4-9 bulan. Proses ini dilakukan tanpa gula atau ragi, hanya dengan air destilasi dan kokoa.
Selain itu, kini dia mengembangkan kopi kretek untuk memenuhi permintaan diaspora di Korea Selatan yang merindukan nuansa tembakau dari negeri ini.
Berbagai pameran pun diikuti Endang, untuk menguji sejauh mana produk kopi racikannya diakui.
Hasilnya, minuman yang berbahan dasar dari "permata hitam" Gunung Ciremai itu pernah menempati posisi lima terbaik pada ajang pameran di Taiwan.
Histori
Di kaki Gunung Ciremai, cerita kopi tertulis sejak berabad lalu, jauh sebelum komoditas ini menjadi ikon gaya hidup masyarakat modern.
BACA JUGA:Di Persimpangan Dimensi Budaya (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)
Sejarawan Cirebon Tendi menjelaskan perkembangan kopi di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya, tidak lepas dari peran para pemimpin lokal saat itu yang dikendalikan pemerintah kolonial.
Kopi menjadi pilihan utama pihak kolonial, setelah tanaman nila yang sempat dijagokan ternyata tak mampu memberikan hasil memuaskan di pasaran.
Pada 1830, saat Johannes van den Bosch menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kopi didapuk sebagai komoditas ekspor unggulan.
Melalui penerapan sistem tanam paksa, para penjajah mewajibkan setiap desa menyediakan 20 persen lahan untuk komoditas ekspor, termasuk pada budi daya tanaman kopi.
Sistem ini benar-benar menjadi mesin uang bagi Belanda. Pada 1830, keuntungan pihak kolonial berada di angka 12,9 juta Gulden, lalu melonjak pesat hingga 74,2 juta Gulden di tahun 1840.
Kendati demikian, memasuki paruh kedua abad ke-19, masa kejayaan perkebunan kopi mulai memudar, termasuk di kawasan Gunung Ciremai. Saat itu produktivitas lahan menurun drastis.
Jumlah pohon kopi di wilayah Priangan juga berkurang dan tersisa 39 juta pada 1866. Angka ini jauh di bawah puncaknya yang mencapai 69 juta pohon pada 1855.
Tekanan dari kaum liberal di Belanda pun kian menguat untuk segera mengakhiri sistem tanam paksa, namun pemerintah kolonial tetap bersikeras mempertahankan metode itu.
BACA JUGA:Memacu Daya Saing 'Emas Hijau' di Pesisir Utara Jawa Barat