Demikian juga dengan pembangunan PLTS Terapung Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, yang telah diresmikan pada November 2023. PLTS ini diklaim sebagai PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dan ketiga di dunia.
Proyek PLTS Terapung Cirata tidak hanya menghasilkan listrik bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal di bidang energi terbarukan. Dengan melibatkan 1.400 pekerja lokal, proyek ini diyakini dapat menjadi langkah awal yang baik untuk pengembangan proyek serupa di masa depan.
Dengan pengalaman yang diperoleh dari proyek Cirata, para pekerja lokal diharapkan siap untuk terlibat dalam proyek-proyek PLTS terapung lainnya yang direncanakan oleh PLN, termasuk PLTS Terapung Saguling di Waduk Saguling, Jawa Barat dan PLTS Singkarak di Danau Singkarak, Sumatera Barat.
Keberhasilan-keberhasilan ini harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk terus memperluas pemanfaatan energi bersih sehingga target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris dapat tercapai.
Hadapi tantangan
BACA JUGA:Mewujudkan Keamanan Pangan dengan Menggandeng Aparat Hukum
Kendati demikian, di tengah pencapaian-pencapaian tersebut, Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam mempercepat transisi energi. Salah satu tantangan tersebut adalah keberadaan kontrak jangka panjang antara PLN dan berbagai perusahaan pembangkit listrik berbasis batu bara dengan skema take or pay.
Pembatalan sepihak atas kontrak-kontrak tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi finansial yang sangat signifikan bagi PLN.
Selain itu, pengembangan energi baru terbarukan juga memerlukan investasi tambahan untuk memperkuat jaringan listrik. Jaringan listrik yang ada saat ini belum sepenuhnya siap untuk menampung fluktuasi pasokan energi dari sumber terbarukan.
Produksi listrik dari PLTS Cirata, misalnya, sangat fluktuatif dan bergantung pada kondisi cuaca. Untuk menjaga kestabilan sistem kelistrikan, diperlukan sumber energi konvensional sebagai cadangan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa infrastruktur jaringan listrik saat ini belum memadai untuk mengakomodasi energi terbarukan secara optimal. Peningkatan kapasitas dan modernisasi jaringan listrik menjadi suatu keharusan, namun tentunya akan membutuhkan investasi yang sangat besar.
BACA JUGA:PUI UM Terangi Daerah 3T dengan Energi Terbarukan
Data Pemerintah menunjukkan bahwa investasi di sektor EBT pada 2021, 2022, dan 2023 hanya berkisar antara 1,4 hingga 1,5 miliar dolar AS. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan investasi di sektor migas yang mencapai 15,9 miliar dolar AS pada 2021 dan 15,6 miliar dolar AS pada 2023.
Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, Indonesia tidak dapat menunda lagi peralihan ke energi bersih. Pemerintahan mendatang harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah tertunda sejak lama untuk menciptakan kerangka hukum yang kuat bagi pengembangan sumber energi terbarukan dan mempercepat tercapainya target emisi nol bersih.
RUU EBET juga berperan krusial dalam menciptakan kerangka hukum yang solid untuk menarik investasi di sektor energi bersih sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hijau secara lebih luas.
Transisi energi merupakan proses yang kompleks dan menuntut komitmen jangka panjang. Di satu sisi, Pemerintah perlu memastikan akses energi yang terjangkau dan andal bagi seluruh masyarakat. Di sisi lain, upaya transisi energi harus terus digalakkan untuk mencapai target keberlanjutan lingkungan.
BACA JUGA:Saat Lelang Tanah Beralih ke Platform Digital