BELITONGEKSPRES.COM - Saat ini, dunia tengah menghadapi ketidakpastian dan tantangan ekonomi yang semakin kompleks, bahkan negara-negara maju pun tak luput dari bayang-bayang resesi. Indonesia, sebagai bagian dari tatanan global, turut merasakan dampak ini.
Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII di Solo pada 19 September 2024, memberikan gambaran jelas tentang betapa seriusnya situasi ini.
Presiden Jokowi menyoroti fakta bahwa sudah ada 96 negara yang menjadi "pasien" IMF, angka yang menurutnya mencerminkan krisis global yang serius.
Dalam konteks ini, Indonesia dituntut untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menjaga stabilitas ekonominya, terutama mengingat peluang dan tantangan yang akan datang terkait bonus demografi pada tahun 2030.
BACA JUGA:Pengamat Penerbangan Tanggapi Soal Harga Avtur di Indonesia Lebih Mahal Dibanding Singapura
Presiden Jokowi menekankan bahwa bonus demografi bisa menjadi kekuatan besar, tetapi juga berpotensi menjadi beban berat jika tidak dikelola dengan baik.
Di satu sisi, bonus demografi bisa menjadi keuntungan dengan populasi usia produktif yang tinggi. Namun, jika pemerintah gagal menciptakan lapangan kerja yang cukup, hal ini justru akan menimbulkan masalah sosial-ekonomi.
"Too few jobs for too many people," ujar Jokowi, menggambarkan ancaman yang nyata jika pasar tenaga kerja tidak mampu menyerap jumlah angkatan kerja yang terus meningkat.
Dalam menghadapi tantangan global, perlambatan ekonomi dunia menjadi salah satu hambatan utama. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya sebesar 2,7 persen pada 2023 dan sedikit membaik menjadi 2,7 persen pada 2024. Kondisi ini telah memaksa banyak negara untuk memperketat kebijakan moneter guna meredam inflasi, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan industri dan perdagangan internasional.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Ungkap 85 Juta Pekerjaan Bisa Hilang pada 2025, Apa Penyebabnya?
Tak hanya itu, tantangan dari segi teknologi juga semakin mengemuka. Otomasi yang semakin pesat, baik dalam bentuk kecerdasan buatan maupun sistem analitik, diperkirakan akan menghilangkan hingga 85 juta pekerjaan pada tahun 2025.
Ini menambah beban bagi Indonesia dalam menciptakan peluang kerja yang baru. Peningkatan tren gig economy, yang memungkinkan perusahaan lebih memilih pekerja paruh waktu demi mengurangi risiko ekonomi global, semakin memperkecil kesempatan kerja.
Dalam kongres tersebut, Ketua Umum ISEI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa meskipun tantangan global semakin berat, koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan stabilitas makroekonomi Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,1 persen pada triwulan II tahun 2024.