Nakba yang Terus Berlanjut: Krisis Palestina yang Tak Berujung

Rabu 11 Sep 2024 - 22:27 WIB
Reporter : Yudiansyah
Editor : Yudiansyah

Melalui Perang Enam Hari pada 1967, Israel berhasil menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Sebelum perang ini, Tepi Barat dikuasai oleh Yordania, sedangkan Jalur Gaza dan Yerusalem Timur masing-masing berada di bawah kendali Mesir dan Yordania.

Perang tersebut berakhir dengan gencatan senjata pada 10 Juni 1967, tetapi Israel tetap memperluas kendali atas wilayah-wilayah strategis tersebut.

Pendudukan Israel atas wilayah Palestina terus menuai kecaman dari dunia internasional. Banyak negara dan organisasi, termasuk PBB, mengutuk tindakan Israel yang dianggap melanggar hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang pemindahan penduduk dari negara pendudukan ke wilayah yang diduduki.

BACA JUGA:Ambisi Indonesia Pacu Dekarbonisasi Secara Global

Kebijakan Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat dipandang sebagai bagian dari strategi "permainan demografi." Israel sering menggunakan Undang-Undang Properti Absen 1950 untuk merampas properti warga Palestina yang ditinggalkan pada 1948. Selain itu, Israel mempercepat pembangunan permukiman ilegal di wilayah yang direbut dari Palestina dan negara tetangga, termasuk di daerah strategis seperti Lembah Yordan.

Hingga saat ini, Israel masih menerapkan UU Properti Absen 1950 untuk menguasai aset warga Palestina. Diperkirakan sekitar 70 persen dari seluruh properti Palestina yang dirampas Israel dilakukan melalui undang-undang tersebut.

Pengusiran dan Kolonisasi di Yerusalem Timur

Di balik kekerasan yang berlangsung di Jalur Gaza, pengusiran warga Palestina di Yerusalem Timur terjadi secara sistematis dan diam-diam melalui perubahan strategi demografi.

Yerusalem Timur, yang dihuni lebih dari 350.000 warga Palestina dan sekitar 230.000 pemukim Israel, dihormati oleh jutaan orang karena situs-situs suci bersejarahnya. Bagi Palestina, Yerusalem Timur adalah jantung perjuangan mereka dan dianggap sebagai ibu kota masa depan negara Palestina. Namun, Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya.

BACA JUGA:Mata Air Keberagaman Budaya dan Identitas Manusia (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Emad Moussa, seorang peneliti, menyatakan bahwa pengusiran diam-diam dilakukan melalui penggunaan jaringan hukum dan kebijakan yang mendukung kolonisasi Israel. Strategi ini memungkinkan Israel merebut lebih banyak tanah Palestina tanpa perlu menggunakan kekerasan langsung.

Pembatasan ketat diberlakukan bagi penduduk Palestina di Yerusalem Timur, yang secara perlahan mengisolasi wilayah tersebut dari Tepi Barat. Menurut Tamara Tamimi, seorang peneliti di lembaga think tank Al-Shabaka yang tinggal di Yerusalem Timur, pengusiran paksa warga Palestina meningkat secara signifikan sejak Oktober 2023.

Israel menggunakan situasi ini untuk memperluas agenda kolonialnya, dengan melibatkan pembongkaran rumah, penggusuran paksa, dan perluasan permukiman ilegal. Osama Risheq, peneliti dan pengawas hukum di Universitas Al-Quds, menyebutkan bahwa Israel menerapkan kebijakan hukum yang kompleks untuk mendukung proyek kolonisasinya, mengubah demografi wilayah tanpa memicu konfrontasi terbuka.

Data menunjukkan bahwa jumlah pembongkaran di Tepi Barat dan Yerusalem Timur pada tahun ini adalah yang tertinggi dalam dekade terakhir. Menurut laporan kantor HAM PBB, antara 7 Oktober 2023 hingga 26 Agustus 2024, otoritas Israel telah "membongkar, menyita, atau memaksa pembongkaran 1.446 bangunan Palestina di seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur," menggusur lebih dari 3.300 warga Palestina, termasuk sekitar 1.430 anak-anak.

BACA JUGA:Kunjungan Paus Fransiskus dan 'Promosi' Bhinneka Tunggal Ika

Jumlah ini "lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama sebelum 7 Oktober," ungkap kantor tersebut. Semua permukiman Israel dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional, namun hal ini tidak menghentikan upaya Israel untuk terus memperluasnya dengan merebut lebih banyak tanah Palestina.

Kategori :