Nakba, yang berarti "bencana" dalam bahasa Arab, mengacu pada pengusiran massal warga Palestina pada 14 Mei 1948, bersamaan dengan proklamasi berdirinya negara Israel.
Sejak awal abad ke-20, ketegangan di Palestina semakin meningkat, terutama setelah Deklarasi Balfour pada 1917, di mana Inggris berjanji untuk mendukung pendirian "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di wilayah Palestina.
BACA JUGA:Gudang Litium dan Ambisi Indonesia Menjadi Raja Baterai EV
Meningkatnya imigrasi Yahudi memperuncing hubungan antara komunitas Yahudi dan Arab Palestina. Gerakan Zionis semakin menguat, memperburuk situasi yang sudah tegang.
Puncak ketegangan terjadi pada 1936–1939 dengan pecahnya pemberontakan besar Arab Palestina melawan mandat Inggris dan kolonisasi Yahudi.
Pemberontakan ini disertai dengan kekerasan, yang direspons Inggris dengan tindakan represif, mengakibatkan ribuan warga Palestina tewas, terluka, atau dipenjara.
Meskipun Inggris mengeluarkan White Paper 1939 yang membatasi imigrasi Yahudi, kebijakan tersebut ditolak oleh komunitas Yahudi, yang tetap bertekad untuk mendirikan negara mereka sendiri.
BACA JUGA:Urgensi 'Green Financing' Ditengah Darurat Krisis Iklim Global
Setelah Perang Dunia II, imigrasi Yahudi ke Palestina semakin meningkat, terutama setelah tragedi Holocaust. Kelompok Zionis memperkuat jaringan paramiliter mereka, seperti Haganah dan Irgun, sebagai persiapan pembentukan negara Yahudi.
Pada 1947, Inggris menyerahkan masalah Palestina kepada PBB, yang mengeluarkan Resolusi 181. Resolusi ini membagi Palestina menjadi dua negara, memberikan 55 persen wilayah kepada Yahudi, sementara 45 persen sisanya untuk negara Arab.
Komunitas Yahudi menerima resolusi tersebut, tetapi komunitas Arab Palestina dan negara-negara Arab menolaknya, yang memicu Perang Arab-Israel 1948. Perang ini menyebabkan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah mereka, peristiwa yang dikenal sebagai Nakba.
Hingga saat ini, jutaan pengungsi Palestina masih tersebar di wilayah-wilayah seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, serta negara-negara tetangga. Isu hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina tetap menjadi salah satu persoalan paling mendasar dalam konflik ini.
Strategi Demografi Israel
BACA JUGA:Kolaborasi Menuju Transisi Energi
Nakba bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi terus berlanjut hingga kini, memengaruhi situasi geopolitik dan sosial di wilayah Palestina.
Israel menerapkan strategi demografi secara sistematis, yang bertujuan mengubah peta wilayah Palestina, terutama di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Strategi ini mencakup berbagai tindakan seperti pembongkaran rumah, penggusuran paksa, perampasan tanah, serta perluasan permukiman ilegal.