Pseudo Power Dalam Kontestasi Digital Capres

Senin 11 Dec 2023 - 23:07 WIB
Oleh: Erry Frayudi

Oleh: Irwan Dwi Arianto

BUZZER berkiprah di dunia politik Indonesia sejak 2012 silam, meski istilah buzzer sudah muncul di Indonesia sejak 2009. Istilah buzzer mengalami peyorasi yang sekarang lebih bermakna negatif. Mereka menjalankan instruksi melempar isu maupun fitnah untuk menjatuhkan lawan politik dan menyanjung yang membayar hingga memainkan ilusi citra.

Sangat mudah bagi siapa pun membeli akun-akun media sosial di situs belanja online untuk kemudian menjadi buzzer, demikian pula dengan pembelian follower dan like. Di sisi lain, kita dihadapkan dengan tidak mudahnya mengetahui asal mula follower dari akun yang dibeli. Sebab, bisa jadi diperoleh dengan cara cepat mendapatkan follower yang cenderung melalui konten negatif seperti pornografi atau dari pengemis follower melalui kejadian-kejadian yang mengerikan atau pembelian instan.

Pertarungan semu antar-buzzer ya itu-itu saja, tanpa dialektika digital berjejaring. Bahkan, amplifikasi discourse yang kuat pun dapat menjadi hanya sekadar pseudo power. Pemangku kepentingan hanya terpaku dengan angka-angka tinggi yang disuguhkan sebagai ’’keberhasilan” tanpa memahami keberhasilan kontestasi digital yang sesungguhnya dalam spiral issue dan viral value-nya. Tinggi di media sosial tidak menjadi jaminan memenangkan kontestasi.

Teridentifikasi, buzzer sering bikin blunder dan mengacaukan demokrasi di media sosial. Mengingat buzzer tidak substansial dan kontekstual, bergerak berdasar instruksi dan template. Bukan hanya itu, pada kasus buzzer salah ketik (typo) di tataran awal instruksi (template) dan karena bukan typo individu, maka typo itu menyebar luas sesuai kontrak kerjanya hingga malah merusak citra.

Bahkan, buzzer merusak narasi dialektika digital dengan me-mention akun-akun bot hanya untuk sekadar mengikutsertakan dalam upaya untuk merusak atau menenggelamkan. Belum lagi buzzer berganti-ganti kubu berdasar siapa yang membayar tanpa idealisme. Juga, tidak segan-segan menghalalkan segala cara dalam posting bahkan hingga berujung pelaporan kepada pihak yang berwenang. Bahkan, menumbuhkan kebencian yang mendalam yang siap setiap saat dilepaskan tanpa kendali.

Perilaku buzzer yang semakin lama semakin parah mencederai demokrasi di Indonesia. Dan sebenarnya dalam kajian komunikasi big data, hal tersebut hanya menambah kebanggaan semu dengan angka tinggi. Tapi, tanpa membangun relasi pengetahuan dengan konstituen. Semakin menjauh dari goal to vote dan mendapatkan ’’gantelane ati’’.

Ruang kontestasi baru memiliki ciri khas tersendiri yang saling tarik-menarik antara kapitalisme digital, algoritma, pemilik aplikasi, dan digital activism. Resonansi pengetahuan memberikan pemahaman tentang bagaimana pengetahuan dan kuasa bekerja dalam konteks isu-isu media sosial yang cukup dinamis dalam akselerasi digital. Kekuatan aktor tidak selalu sama dalam isu yang berbeda.

Kekompakan dan pencapaian konsensus sangat dipengaruhi oleh isu dalam karakteristik cluster yang terbentuk pada isu tersebut. Elite dengan kelebihan dan kemampuan untuk memanfaatkan kekuasaan bahkan memegang fungsi politik memonopoli kekuasaan sering menjadi tidak berdaya di ruang kontestasi digital, shifting power dan enhanced mass-self communication.

Kontestasi tiga capres menuju Pilpres 2024 sejak pertengahan November (penetapan nomor urut) hingga awal Desember 2023 tampak masih menggunakan cara-cara konvensional. Teridentifikasi cukup banyak pseudo power dalam berbagai aktivitas digital yang dijalani. Hasil analisis jaringan tematik pada ketiganya cenderung menarasikan dirinya dan kekuasaan bukan pada solusi hasil need assessment masyarakat digital (NAMD).

Teridentifikasi, kekuasaan menjadi konsep sentral fokus atau perhatian utama dari masing-masing capres. Narasi yang dibangun banyak yang tidak seirama dengan match behavior location analytics dengan kebutuhan konstituennya. Kepopuleran digital itu teridentifikasi banyak ’’diangkat” oleh akun-akun sama dengan template sehingga seolah-olah tinggi kehadiran digitalnya, pseudo power.

Digital activism yang cenderung menyerang dari ketiganya terlebih oleh buzzer membuktikan tidak ada kepemilikan gagasan yang sesuai dengan NAMD. Kontestasi akar rumput yang berkembang dapat memantik konfrontasi dan mempersulit tercapainya dialog konstruktif. Emosi memainkan peranan penting memengaruhi perilaku pemilih dalam cara pandang dan keterlibatan sehingga mereduksi pseudo power.

Pada analisis emosi terhadap capres, ketiganya belum masuk dalam komposisi ideal di enam emosi dasar. Hal tersebut semakin memperkuat bahwa mereka belum memiliki dasar narasi yang seirama untuk resonansi pengetahuan. Belum lagi transformasi gerakan politik di Indonesia tidak bisa serta-merta disamakan dengan negara-negara lain, terutama negara maju yang sudah high level educated people. Penerapan strategi pemenangan luar tidak serta-merta sesuai dengan ekosistem kita.

Kontestasi digital setingkat capres yang terperangkap dalam pseudo power, dampaknya dapat sangat serius bagi demokrasi, keutuhan bangsa, dan stabilitas politik. Strategi yang semata-mata mengandalkan manipulasi digital tidak hanya akan memunculkan polarisasi kompleks, melainkan juga meningkatkan tingkat ketegangan sosial dan ketidakstabilan politik. Hal yang dapat meledak sewaktu-waktu. (*)

*) IRWAN DWI ARIANTO, Doktor komunikasi big data media digital, dosen komunikasi digital dan kajian media sosial Program Studi Ilmu Komunikasi dan Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur

Kategori :