Tidak bertemunya dengan seorang empu memang menjadi sebuah pertanyaan saat berada di lapangan. Rasanya data dan relevansi mengenai Balumpa kurang terasa lengkap. Keberuntungan kedua yang penulis adalah bertemunya dengan sosok empu pemetik gambusu Balumpa di Desa Jaya Makmur, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi. Desa ini berada di selatannya Pulau Binongko, cukup jauh dari tempat penulis menginap dan uniknya transportasi umum di Pulau Binongko adalah motor roda tiga (Viar).
La Ayani (94) merupakan sosok empu gambusu dan juga penutur Kabhanti. Semasa muda La Ayani adalah seorang pelayar. Beliau mengatakan bahwa gambusu selalu hadir di dalam perahu, sehingga keterikatan dengan gambusu sudah sangat melekat dalam hidupnya. Selain lihai dalam memetik gambusu, La Ayani juga mahir membuat gambusu dan Toba (tempat menaruh daun sirih, rokok serta uang untuk seserahan perkawinan).
BACA JUGA:Peran Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Desa Wisata Namang
BACA JUGA:Fanatisme Politik Masyarakat Indonesia
Gambusu yang dimiliki La Ayani terbuat dari kayu sukun dan mempunyai tuning yang berbeda dengan gambusu milik Rudi. Namun memiliki jumlah dan jenis senar yang sama. Tuning Senar pertama D 293 Hz (dobel senar), senar ke-2 A 216 Hz (dobel senar), senar ke-3 D# 159 Hz (dobel senar), senar ke-4 A# 58 Hz (senar tunggal). Sistem jarak tuning gambusu La Ayani hampir mirip dengan gambusu La Asiru dari Pulau Tomia yang juga sama-sama seorang pelayar.
La Ayani memainkan gambusu dengan menggunakan tangan kiri (sinitralitas), menariknya tuning dan penempatan senar gambusu La Ayani tidak disesuaikan dengan posisi tangan kiri, namun tetap dengan penempatan senar yang biasa dilakukan oleh pemain gambusu yang lazim menggunakan tangan kanan. Fakta menarik yang kedua adalah tempat dudukan senar (bridge) menggunakan paku dan pick terbuat dari senar nilon berukuran besar yang dipanaskan, sehingga membuat tekstur senar menjadi keras/ kaku.
La Ayani juga bercerita bahwa semasa dulu Balumpa sering dimainkan saat masyarakat Pulau Binongko ingin pergi dan pulang dari berlayar. Selain gambusu, keberadaan instrumen Mbololo (gong) sering di bawa ke dalam perahu. Mbololo dibunyikan untuk menandakan kedatangan dari sehabis berlayar. Bagi masyarakat yang hidup di daratan, Mbololo dibunyikan untuk menandakan sebuah peristiwa seperti kematian atau lainnya. Secara semiotika, Gambusu dan Mbololo menjadi ruang ekspresi untuk berkomunikasi.
Secara geografis, Pulau Binongko terletak di pulau terujung dari Wakatobi, pulau yang hampir menyeluruh dipenuhi dengan karang yang panas dan berangin. Belum meratanya sinyal internet dan listrik mungkin menjadi alasan klasik para pemuda dan pemudi memilih untuk merantau, beradu nasib di Ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Fenomena ini membuat terhambatnya siklus seni dan budaya di Pulau Binongko secara berkelanjutan. Tentunya ini menjadi PR besar bersama untuk masyarakat, seniman, pelaku budaya maupun pemerintah setempat dan pusat. Agar setidaknya, literasi yang muncul kepermukaan tidak melulu tentang ikan, biota laut, keindahan karang dan birunya lautan. (*)
*) Reno Izhar, Etnomusikolog, Komposer, dan Perkusionis