Kasus Pencurian Motor, Kisah Andreas Marboen dan Keadilan Restoratif

Sabtu 01 Mar 2025 - 20:58 WIB
Reporter : Yudiansyah
Editor : Yudiansyah

Di awal 2025, Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam resmi menghentikan penuntutan perkara pencurian kendaraan bermotor yang melibatkan tersangka Andreas Marboen (23). Sementara itu, sepanjang 2024, enam kasus pidana telah diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.

BACA JUGA:Keadilan Restoratif, Terobosan Hukum yang Lebih Humanis

Setelah bebas, Andreas mengungkapkan penyesalannya dan secara sukarela menawarkan diri untuk menjalani sanksi sosial di gereja selama satu bulan, tanpa ada paksaan.

Menurut Kasna, sebagian besar tindak pidana pencurian dipicu oleh faktor ekonomi, keterbatasan lapangan pekerjaan, serta minimnya keterampilan yang dimiliki pelaku. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penerapan restorative justice.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial, pelaku bisa diarahkan untuk melakukan kerja sosial, seperti membersihkan rumah ibadah atau membantu tugas kebersihan di lingkungan sekitar.

Harapan Baru Setelah Bebas

Meskipun lega karena terbebas dari hukuman, Andreas masih menyimpan kekhawatiran, terutama karena kehilangan pekerjaannya akibat kasus ini.

Berkat mekanisme keadilan restoratif yang dijalani, ia juga tidak memiliki catatan kriminal, sehingga tetap bisa mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk keperluan melamar pekerjaan.

BACA JUGA:Pelaku Pencurian di Selat Nasik Terekam CCTV, Korban Kehilangan Uang Rp50 Juta

“Saya berterima kasih kepada Kejari Kota Batam. Dengan adanya restorative justice, perkara ini bisa diselesaikan secara damai. Cukuplah sekali ini, saya tidak akan mengulanginya lagi,” ujar Andreas.

Pengalaman Andreas bisa menjadi cerminan bagi penerima keadilan restoratif lainnya. Meski mereka terhindar dari pemidanaan, tantangan setelah bebas tetap ada. 

Faktor ekonomi dan kurangnya keterampilan yang menjadi penyebab utama tindak pidana perlu mendapat perhatian lebih, agar mereka tidak kembali terjerumus dalam tindakan melanggar hukum.

Selain itu, langkah ini sejalan dengan arahan pimpinan Kejaksaan RI agar program keadilan restoratif benar-benar memberikan manfaat, baik bagi pelaku maupun masyarakat.

Tak hanya sebatas sanksi sosial, alternatif lain yang dapat diterapkan adalah pemberian pelatihan kerja. Bentuk sanksi sosial bagi penerima keadilan restoratif bisa berupa membersihkan rumah ibadah, mengikuti program pelatihan keterampilan, atau bekerja di sektor kebersihan.

Data menunjukkan bahwa 50 persen pelaku pencurian yang perkaranya diselesaikan melalui keadilan restoratif adalah pengangguran dan tidak memiliki keterampilan khusus.

Oleh karena itu, setelah terbebas dari tuntutan hukum, diharapkan para penerima keadilan restoratif tidak mengulangi kesalahannya dan bisa kembali ke masyarakat dengan kehidupan yang lebih baik. 

Kasus ini menjadi contoh bagaimana pendekatan hukum yang lebih berorientasi pada pemulihan dapat memberikan kesempatan kedua bagi seseorang yang benar-benar menyesali perbuatannya.

Kategori :