'Entrepreneurial Spirit' dan Demokrasi Ekonomi

Selasa 11 Feb 2025 - 20:49 WIB
Oleh: Irman Gusman

Masih teringat ekonom terkenal asal Peru, Hernando de Soto, yang dalam bukunya "The Mystery of Capital dan The Other Path" menekankan perlunya merekam kegiatan ekonomi informal yang melibatkan UMKM di negara-negara berkembang. Ia mengadvokasi rekognisi legal terhadap hak milik tanah masyarakat golongan bawah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi dari bawah ke atas demi mengentaskan kemiskinan, sebagai strategi pemerataan.

BACA JUGA:HPN Sebagai Momentum Refleksi UU Pers dan Relevansinya Kini

Paradigma baru tentang redistribusi aset yang dikemukakannya itu juga menyorot situasi dimana rakyat yang tadinya menjadi tuan tanah akhirnya berubah menjadi “pengemis yang duduk di atas periuk emas.” Tanahnya kaya, tapi rakyatnya miskin, dan tak ikut menikmati kekayaan negerinya, karena aset-aset mereka hanya “menjadi modal mati.”

Kondisi serupa itu juga terjadi di Indonesia, karena itu apabila entrepreneurial spirit dikembangkan, kelas menengah diperluas, koperasi diutamakan, dan UMKM diberdayakan, maka akan terjadi perubahan besar dalam struktur perekonomian kita, sehingga kelompok usaha besar hanya perlu beroperasi di sektor industri untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi di semua daerah.

Selama ini UMKM dan koperasi tidak memiliki akses pasar dan pendanaan yang memadai, karena tidak berskala, sehingga tidak pula punya akses ke perbankan. Padahal, pemberdayaan koperasi sebagai badan usaha milik rakyat akan menumbuhkembangkan potensi ekonomi di semua daerah untuk menciptakan pemerataan secara berkelanjutan.

Konsep ekonomi kerakyatan seperti itu juga yang diadvokasi oleh Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia, bahwa dengan koperasi, maka banyak warga masyarakat dapat terlibat untuk membangun perekonomian dari bawah (bottom-up growth), terbalik secara diametral dari teori meluasnya pembagian pendapatan yang tidak pernah menjadi kenyataan itu, serta teori ekonomi liberal kapitalistik yang membatasi peluang masyarakat golongan bawah untuk memperbaiki nasib.

BACA JUGA:Pelajaran dari Polemik Distribusi Gas Melon

Di tengah samudera pasar bebas dunia, semestinya kita tidak perlu terkekang dan tunduk kepada setiap tekanan negara lain yang menganut sistem ekonomi liberal kapitalistik, sebab hanya akan melumpuhkan pelaku ekonomi dalam negeri di tengah persaingan dunia yang cenderung menggunakan "hukum rimba".

Lihat saja bagaimana Amerika Serikat bertikai dengan Kanada, Meksiko, dan China akibat kebijakan Presiden Donald Trump menaikkan tarif 25 persen terhadap produk ekspor mereka. Intisari dari perselisihan itu adalah tekad untuk mendahulukan kepentingan dalam negeri.

Kita dapat menarik pelajaran dari cara negara-negara itu membela kepentingan dalam negerinya masing-masing, dengan menggelorakan semangat "Indonesia First". Perjanjian WTO pun bisa tidak dipatuhi ketika kepentingan dalam negeri diprioritaskan. Perlu kita mewaspadai eskalasi perang dagang tersebut yang dapat berakibat pada pemasukan devisa ekspor dan kinerja pelaku ekonomi dalam negeri.

Dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberdayakan pelaku ekonomi di semua daerah, tanpa mengorbankan eksistensi korporasi besar, serta kerja sama bisnis dan ekonomi dengan negara-negara lain, sebagai perwujudan demokrasi ekonomi yang perlu diciptakan untuk menghadirkan keadilan. Sebab absennya keadilan ekonomi, yang menyuburkan monopoli ruang, telah melahirkan oligarki ekonomi-politik yang menyayat hati rakyat.

Keberhasilan penataan ruang darat, laut, dan udara tidak diukur dari seberapa banyak ruang-ruang itu dikuasai oleh segelintir pelaku ekonomi di lapisan teratas piramida sosial, melainkan dari kenaikan taraf hidup masyarakat di lapisan bawah, termasuk kaum buruh, petani, nelayan serta pekerja-pekerja lainnya di berbagai daerah, yang masih merangkak di sektor informal. Ini bisa terjadi apabila kita menerapkan strategi pertumbuhan dari bawah agar terjadi pemerataan secara berkeadilan.

BACA JUGA:Daya Beli Merosot, Deflasi Jadi Sinyal Bahaya Ekonomi?'

Satu contoh sederhana tentang pertumbuhan dari bawah itu dapat kita lihat di Selandia Baru yang sudah menghasilkan petani-petani sekelas pengusaha. Dalam suatu kunjungan ke sana, kita menemukan sejumlah petani yang sedang makan dan bersenang-senang di restoran Jepang. Di waktu luang, mereka pergi bermain golf. Dan para petani itu membiayai keluarganya yang bekerja di kota, bukan sebaliknya.

Dibutuhkan reorientasi strategi untuk memberdayakan masyarakat kelas bawah, agar anak-cucu mereka tidak mengalami nasib seperti mereka. Sebab jika anak petani masih menjadi petani pula dan anak nelayan masih juga mengalami nasib seperti orang tuanya di berbagai daerah, itu berarti pertumbuhan dari bawah belum terjadi, keadilan ekonomi dan demokrasi ekonomi belum terjadi.

Dengan latar belakang kontemplasi di atas, maka kasus besar yang kini mengusik perhatian masyarakat, pagar laut di perairan Tangerang, sepatutnya dijadikan pemicu untuk membongkar gunung es di samudera monopoli ruang yang semakin dinikmati kelompok ultra-kaya, tapi semakin pula menyayat rasa keadilan masyarakat yang kian lelah dan gelisah menyaksikan "pameran" ketidakadilan itu.

Kategori :