Pertama, proyek PLTS Sumbawa yang merupakan pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik berkapasitas 26 megawatt peak (MWp). Berlokasi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). PLTS ini merupakan fasilitas fotovoltaik surya terbesar di Indonesia dengan nilai proyek Rp223,77 miliar dan nilai komitmen Rp179,64 miliar.
BACA JUGA:Pemilu dan Keteladanan Elite
BACA JUGA:Dunia Harus Sadar Ajakan Israel akan Perparah Kelaparan di Gaza
Proyek kedua, BUMN ini memberikan pembiayaan kepada PLTS yang tersebar di pulau Jawa dengan nilai proyek Rp348,8 miliar serta komitmen Rp280 miliar.
Proyek ketiga, perusahaan negara itu membiayai pengadaan, pemasangan, dan pengoperasian sistem panel tenaga surya di wilayah Jawa dengan nilai proyek Rp2,18 triliun dan komitmen Rp400 miliar.
Sampai saat ini, PLTS masih dinilai banyak pihak menjadi salah satu cara untuk mewujudkan transisi penuh menuju EBT bagi Indonesia. Pakar energi baru terbarukan (EBT) Surya Darma menilai bahwa implementasi PLTS dapat menjadi solusi yang efektif untuk dekarbonisasi.
Pasalnya, PLTS dapat memanfaatkan energi matahari yang tersedia secara luas di Indonesia dan gratis sebagai sumber energi primer.
Sumber energi ini memiliki sumber daya yang cukup besar dan dapat mendukung sampai lebih dari 3.000 giga Watt (GW). PLTS juga dapat dibangun pada waktu yang lebih cepat dibandingkan sumber daya energi lainnya, karena itu akan sangat efektif mendukung pelaksanaan transisi energi.
Di samping itu, PLTS juga dapat diimplementasikan dalam berbagai skala. Mulai dari instalasi rumah tangga hingga infrastruktur pembangkit listrik berskala besar. Fleksibilitas inilah yang memungkinkan adopsi PLTS di berbagai sektor, termasuk rumah tangga, bisnis, industri, dan infrastruktur publik jauh lebih efektif.
Menurut Surya, proses fotovoltaik dalam PLTS yang dipasang di atap kawasan industri juga mampu mempercepat terwujudnya emisi nol bersih. Pemerintah sendiri telah lama mencanangkan transisi menuju penggunaan EBT, baik itu melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN), maupun penetapan target NZE pada 2060.
Pun demikian, yang perlu dicermati saat ini adalah justru dari sisi seberapa besar komitmen industri untuk mulai bertransisi menggunakan PLTS sebagai sumber energi baru. Dalam bauran kebijakan EBT, pemerintah menargetkan implementasi PLTS Atap untuk menunjang industri.
Oleh karena itu, dalam Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) SMI, salah satu perusahaan BUMN ini menetapkan beberapa strategi pembiayaan hijau yang diarahkan untuk mewujudkan cita-cita emisi nol karbon 2060.
Adapun strategi yang pertama, mengurangi porsi pembiayaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memanfaatkan sumber dari batubara, dalam nilai outstanding maksimum 5 persen pada akhir tahun 2024.
Strategi kedua, meningkatkan portfolio pembiayaan berkelanjutan dengan target proyek hijau (green project) dan proyek sosial (social project) dengan outstanding Rp9,925 triliun atau minimal 8 persen dari portfolio pembiayaan SMI di akhir tahun 2024.
Kemudian strategi ketiga, SMI terus memastikan seluruh rencana program yang tercantum dalam SDG Indonesia One untuk tahun 2024 dapat terlaksana dengan baik.(*)
*) Oleh Bayu Saputra