Pemerintah menawarkan tiga opsi yakni libur penuh, libur sebagian, atau sekolah dengan penyesuaian durasi.
Di sini, diskursus tentang libur Ramadhan bergeser dari soal spiritualitas semata ke keseimbangan pragmatis antara pendidikan dan agama. Pendidikan tetap harus berjalan, namun dengan penyesuaian waktu yang memungkinkan siswa untuk tetap belajar meski dalam suasana Ramadhan.
Kebijakan ini, yang kembali diusung pada 2025, mencerminkan pragmatisme yang semakin mengemuka. Dunia pendidikan tidak bisa berhenti hanya karena Ramadhan datang. Penyesuaian ini, menurut Mu'ti, adalah solusi untuk menciptakan keseimbangan mengakomodasi kebutuhan akademis tanpa mengabaikan momen spiritual yang sangat penting.
BACA JUGA:Uji Nyata Kementerian Baru, dari Harapan ke Realisasi
Namun, apakah penyesuaian ini benar-benar solusi yang menjawab tantangan zaman? Ataukah masyarakat hanya terjebak pada paradigma pragmatis yang mengabaikan sisi kemanusiaan dalam pendidikan?
Gus Dur mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan prestasi, tetapi tentang membentuk karakter dan memperdalam nilai-nilai spiritual.
Pendidikan harus memberi ruang bagi siswa untuk tumbuh sebagai pribadi yang matang secara emosional dan spiritual.
Jika semua terlalu fokus pada kesiapan akademis, apakah masyarakat sudah memberi ruang yang cukup bagi anak-anak untuk berkembang sebagai individu dengan karakter yang kuat, empati, dan rasa tanggung jawab sosial?
Mu'ti menyarankan pendidikan yang tetap mengutamakan kesiapan akademis, dan memang ini solusi yang rasional menghadapi zaman yang bergerak cepat.
Namun, semua perlu bertanya, apakah dalam upaya ini sudah cukup memberikan perhatian pada nilai-nilai dasar pendidikan, yang mencakup pengembangan karakter dan hubungan sosial?
BACA JUGA:Kontemplasi Jelang 100 Hari Kabinet Merah Putih
Pendidikan harus lebih dari sekadar persiapan untuk dunia akademik tapi ia harus membentuk individu yang cerdas dalam segala aspek kehidupan.
Perdebatan antara pendidikan akademis dan pendidikan karakter menciptakan perbedaan pandangan antara Gus Dur dan Abdul Mu'ti. Gus Dur, dengan kebijakan libur sekolah selama Ramadhan, ingin mengingatkan semua bahwa pendidikan bukan hanya tentang mempersiapkan generasi yang pintar, tetapi juga generasi yang bijaksana, empatik, dan memiliki pemahaman mendalam tentang kehidupan.
Di sisi lain, Abdul Mu'ti mengajukan solusi yang lebih pragmatis, penyesuaian jadwal agar pendidikan tetap berlangsung, meski dalam suasana Ramadhan.
Namun, di tengah situasi Indonesia saat ini, semua harus bertanya, bisakah bangsa ini menyeimbangkan keduanya?
Dunia yang penuh persaingan menuntut anak-anak kita untuk siap menghadapi tantangan global. Tapi, pendidikan bukan hanya soal kompetisi; ia juga tentang membentuk individu yang mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan.