JAKARTA - Air Sungai Batanghari melimpas di sebagian Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi. Namun, sejumlah pengunjung justru tampak menikmati kondisi itu untuk berkeliling naik sampan di kawasan yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya tersebut. Sesekali mereka berhenti untuk memakan jajanan yang ditawarkan oleh para penjual layaknya transaksi di pasar terapung.
KCBN Muaro Jambi berada di atas lahan seluas 3.981 hektare. Di tempat bersejarah ini terdapat sembilan buah candi dan beberapa di antaranya telah dipugar, yakni Candi Astano, Candi Kembarbatu, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Gumpung, Candi Gumpung I, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi Kedaton.
Berdasar penelitian, adanya beberapa bangunan candi dengan bentuk yang berbeda-beda di kompleks ini merupakan pertanda bahwa kompleks candi tersebut bukanlah sekadar kompleks candi yang digunakan sebagai tempat peribadatan. Tapi, Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan pusat peradaban Buddha pada abad ke-7.
Hal tersebut dibuktikan dengan temuan-temuan yang ada, seperti arca Dwarapala (penjaga pintu), Gadjasimha (gajah berbadan singa), Umpak Batu, Lumpang Batu, hingga Prajnaparamita sebagai perwujudan dewi kesempurnaan dan kebijaksanaan yang kerap ditemukan di candi-candi Buddha .
BACA JUGA:Kemeriahan Tahun Baru Imlek 2024 yang Kian Terasa
BACA JUGA:Kehadiran Negara Pada Persoalan Kesejahteraan Rakyat
Tidak hanya itu, ditemukannya bukti kunjungan sejumlah biksu dari Bhutan, Nepal, dan beberapa negara lain untuk melakukan peribadatan di tempat ini pada beberapa waktu yang lalu semakin menguatkan bahwa Kompleks Candi Muaro Jambi benar-benar menjadi pusat peradaban Buddha di masa lalu.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Agus Widiatmoko, menuturkan bahwa para biksu tersebut memiliki naskah dan legenda tersendiri tentang bagaimana peradaban Buddha di masa lalu, salah satunya berkembang di kompleks candi ini.
Peradaban Buddha yang diajarkan di Kompleks Candi Muaro Jambi pada masa lalu memiliki pengaruh besar dalam kerajaan Buddha di Indonesia, salah satunya di bidang arsitektur.
Temuan yang ada mengungkapkan bahwa berbagai candi bercorak Buddha di tempat lainnya di Indonesia seperti Candi Singasari di Malang, Jawa Timur yang didirikan sekitar tahun 1300 M, atau Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah yang didirikan pada tahun 824 M dipengaruhi oleh arsitektur candi yang dimulai di Kawasan Candi Muaro Jambi yang didirikan lebih awal.
Kemudian, bukti lain ditunjukkan pada Candi Kedaton, salah satu candi terbesar di wilayah ini yang dikelilingi dinding seluas 44.100 meter persegi. Candi Kedaton memiliki keunikan, karena candi ini tidak memiliki konsep pintu masuk yang berada di arah terbit atau terbenamnya matahari (timur atau barat).
BACA JUGA:Generasi Z Jangan Memilih Pemimpin Hanya karena Jatuh Cinta
BACA JUGA:Mengoptimalkan Penemuan Sumber Gas Besar
Tak seperti candi-candi pada umumnya, Candi Kedaton memiliki pintu masuk di utara dan selatan, dengan menyesuaikan keadaan topografinya yang dikelilingi oleh kanal kuno buatan masyarakat di era tersebut. Tujuannya, untuk memisahkan antara rakyat dan para daton atau datuk yang berarti orang yang dituakan. Sehingga, Kedaton memiliki arti tempat bagi para orang yang dituakan atau berpangkat.
Penamaan Candi Kedaton bukanlah penamaan yang diberikan oleh orang di masa kini. Penamaan candi tersebut bersumber dari penuturan tokoh masyarakat setempat yang diperoleh dari para leluhurnya.Dengan demikian, nama Kedaton tersebut sudah dikenal oleh masyarakat setempat secara turun-temurun.