JAKARTA - Ketika Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto menyampaikan target swasembada pangan pascapelantikan pada Oktober 2024, awalnya banyak pihak yang skeptis.
Presiden menegaskan bahwa swasembada pangan adalah program prioritas yang harus dicapai dalam waktu sesingkat-singkatnya. Target ambisius ini dipatok untuk terealisasi dalam 4-5 tahun mendatang.
Namun, skeptisisme itu perlahan memudar setelah langkah konkret diambil. Presiden membentuk Kementerian Koordinator Pangan dan melantik Zulkifli Hasan sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan).
Selain itu, Prof. Rachmat Pambudy, seorang ahli pertanian dari IPB University, dipercaya memimpin Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Amran Sulaiman, yang dikenal dengan gebrakannya selama periode sebelumnya, kembali menjabat sebagai Menteri Pertanian.
Pada level turunannya, Kementerian Pertanian juga membuat struktur baru unit eselon 1 yaitu Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal yang ditunjuk adalah tokoh ilmuwan tanah yang juga menjabat Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) yaitu Husnain, Ph.D. Sebelumnya Husnain, pernah menjabat Kepala Balai Penelitian Tanah (Balittanah) dan Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). Penunjukan ini memperligatkan komitmen pemerintah terhadap isu pangan sebagai prioritas nasional.
BACA JUGA:Perubahan Wajah Politik Tanpa Ambang Batas
Dua bulan setelah pelantikan presiden, fokus pada ketahanan pangan semakin terasa. Sekretaris Jenderal HITI, Dr. Dyah Retno Panuju, mencatat bahwa isu pangan kini menjadi perbincangan di berbagai forum.
Jika sebelumnya isu ini hanya mengemuka di kampus-kampus pertanian, Kementerian Pertanian, atau lahan-lahan petani, kini topik tersebut telah menjadi prioritas utama di kementerian/lembaga/dan badan lain.
Hal ini terlihat dalam acara High-Level Dialogue: Towards Soil Health Policy for Improved Food Security in Indonesia yang digelar Bappenas Desember lalu.
Sari pati dari pertemuan tersebut adalah Bappenas telah menyadari bahwa upaya mencapai swasembada pangan pada 2024 berhadapan dengan kondisi dan tantangan berbeda dengan pada 1984 di era Soeharto.
Kondisi tanah pertanian di Indonesia telah berbeda karena mengalami degradasi serta tercemar. Demikian pula kondisi iklim saat ini berbeda karena telah terjadi perubahan iklim. Di sisi lain suasana geopolitik yang dihadapi Indonesia juga berbeda.
Dengan perbedaan kondisi dan tantangan tersebut, dibutuhkan upaya para ahli tanah untuk menyehatkan tanah pertanian di Indonesia agar dapat mendukung cita-cita mencapai swasembada pangan.
Sebagai bagian dari komunitas HITI dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi), penulis merasa bahwa perhatian pada soil health atau kesehatan tanah di tingkat Bappenas adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata.
BACA JUGA:Indonesia Menjadi Model Penanganan Teroris di Dunia