"Sangat indah, malam musim panas dihiasi jutaan bintang di padang terbuka Mongolia. Ini adalah sesuatu yang benar-benar unik, perlu dialami semua orang, setidaknya sekali seumur hidup," kata Sodontogos.
Kurangnya pengetahuan mengenai Indonesia dan Mongolia itu pun berimbas dengan kecilnya nilai perdagangan antarkedua negara.
Tercatat pada 2013, nilai perdagangan (ekspor dan impor) Indonesia-Mongolia mencapai angka 20,78 juta dolar AS. Setahun kemudian angka itu sempat naik menjadi 26,01 juta dolar AS.
Pada 2015, nilai perdagangan kedua negara anjlok hingga tinggal 5,93 juta dolar AS. Pada 2016 meningkat lagi menjadi 17,45 juta dolar AS, sebelum turun tipis menjadi 17,37 juta dolar AS pada 2017.
Pada 2018 nilai perdagangan pun hanya 9,5 juta dolar AS. Kemudian pada 2019 dapat meningkat menjadi 12,3 juta dolar AS, dan pada 2020 terjadi peningkatan signifikan, yaitu hingga 24,3 juta dolar AS.
Sayangnya, pada 2021, nilai perdagangan kembali merosot menjadi 17,5 juta dolar AS karena pandemi COVID-19 dan bahkan makin berkurang pada 2022 yaitu menjadi 14,8 juta dolar AS. Kemudian sedikit naik pada 2023, yaitu 16,7 juta dolar AS.
Komoditas ekspor Indonesia ke Mongolia, antara lain produk farmasi, sabun, mesin, maupun produk rumah tangga. Sementara komoditas ekspor Mongolia ke Indonesia adalah tembaga, kimia organik, hingga bahan plastik.
"Sebenarnya, saya tidak begitu senang dengan angka perdagangan Indonesia-Mongolia, mengingat jumlahnya masih rendah, padahal kita memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan sebelum kemerdekaan, hubungan antarmasyarakat kita terjalin selama ribuan tahun," kata Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun, dalam "Indonesia-Mongolia Business Luncheon" di Ulan Bator, pada Selasa (10/12).
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing yang juga berwenang atas Mongolia, disebut Dubes Djauhari berencana mengadakan forum bisnis di Mongolia pada 2025, demi meningkatkan hubungan ekonomi, baik bidang investasi, perdagangan, hingga pariwisata.
Presiden Kamar Dagang dan Industri Nasional Mongolia Tur-Od Lkhagvajav dalam acara yang sama mengatakan produk utama Mongolia adalah hasil ternak, baik daging, susu, kulit, dan juga kashmir. Mongolia juga sangat ingin menggarap bisnis produk halal karena memiliki banyak produksi daging.
"Kami sudah mengundang para ahli dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk memberikan presentasi tentang produk halal. Kami tahun ini juga mulai mengekspor produk halal ke negara-negara Teluk, misalnya daging halal, tapi saya pikir ada perbedaan sertifikasi dan standar halal di negara Teluk dan Asia, hal ini baik juga untuk dipromosikan kepada para pengusaha di Indonesia," ujar Tur-Od.
Apalagi Mongolia punya satu suku minoritas beragama Islam, yaitu Suku Kazak. Tur-Od berharap agar pemerintah Indonesia bisa menyediakan bantuan teknis untuk mempromosikan dan memperkenalkan konsep halal itu sendiri.
BACA JUGA:Femisida dan Impunitas, Tantangan Perlindungan Perempuan
"Kami juga sedang ingin membangkitkan kembali koperasi. Kami memiliki kementerian koperasi dan usaha kecil dan menengah karena organisasi kami ingin bekerja dengan sistem koperasi mengingat mayoritas anggota kami adalah usaha kecil dan menengah, termasuk para pengusaha muda dengan perusahaan-perusahaan rintisannya," kata Tur-Od.
Indonesia, menurut Tur-Od, merupakan pasar yang sedang berkembang, sekaligus kekuatan regional di Asia Pasifik, seperti juga China dan India.
"Negara-negara berkembang, seperti Mongolia, selalu berada di sisi yang tidak seimbang untuk perdagangan, khususnya dengan negara-negara yang jauh lebih maju, termasuk Rusia dan China, tapi kami berupaya untuk menyeimbangkannya, terutama karena pada masa Uni Soviet, hampir 90 persen barang berasal dari sana," kata Tur-Od.