MUI Tekankan Sikap dan Adab Harus Dijaga Agar Tidak Merugikan Citra Ulama, Sentil Gus Miftah?
Wakil Ketua Umum MUI Marsudi Syuhud (dua dari kanan) dalam Silatnas LPBKI MUI di Jakarta (5/12). -Foto: Humas MUI-
Lebih lanjut, dia menekankan perlunya kritik konstruktif untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama. “MUI di sini juga berperan untuk mengawasi pemerintahan,” ujarnya.
Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan, Utang Ranuwijaya, menegaskan bahwa MUI berfungsi sebagai mitra pemerintah (shadiqul hukuma) dan pelayan umat (khadimul ummah). MUI berkomitmen untuk memberikan kontribusi positif kepada umat, termasuk dengan adanya lembaga khusus untuk mualaf.
Utang berharap LPBKI dapat menjalin kerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan pesantren untuk meningkatkan literasi Islam. Di masa mendatang, LPBKI juga diharapkan dapat memberikan dukungan kepada para dai dalam memanfaatkan media sosial.
BACA JUGA:Kemensos Bersama KemenBUMN Kerjasama Perkuat Penyaluran Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
BACA JUGA:DPR Dorong Pemerintah Kembangkan Program Komunal untuk Pemberdayaan UMKM di Sektor Ekonomi Kreatif
Ahmad Zayadi, Plt. Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag, menyatakan bahwa syariah memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa. Dia menilai syariah sebagai nilai universal yang mencakup aspek moral, etika, dan kesejahteraan nasional.
Zayadi juga menekankan pentingnya ekonomi berbasis syariah, seperti zakat dan wakaf, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi kebijakan syariah, menurutnya, harus didukung oleh regulasi yang kuat.
Di sisi lain, Husein Muhammad, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menggarisbawahi perlunya metodologi modern dalam memahami teks-teks keagamaan klasik, mengingat perkembangan realitas baru yang terus muncul.
Belakangan ini, perhatian publik tertuju pada tindakan penceramah Miftah Maulana Habiburrahman, yang mendapat kritik karena komentar kasar terhadap seorang penjual es teh.
Tindakan Miftah memicu reaksi negatif dari berbagai kalangan, termasuk DPR, yang menuntut permohonan maaf kepada publik dan Sunhaji, sang penjual. Ini menunjukkan bahwa sikap dan adab ulama harus senantiasa dijaga agar tidak merugikan citra ulama dan institusi keagamaan. (jpc)