Pengusaha Ritel Minta PPN 12 Persen Dibatalkan, Kenaikan UMP 6,5 Persen Sudah Cukup

Wakil Kepala LPEM UI Jahen Fachrul Rezki, Direktur PT Mitra Adiperkasa Tbk Handaka Santosa, PLT Ketua Harian YLKI Indah Sukmaningsih dan Ketua Umum AGRA Roy N Mandey, saat tapping Special The Forum “Simalakama Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen”, di kant-David Gitaroza-Beritasatu.com

BELITONGEKSPRES.COM - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo), Handaka Santosa, mengungkapkan keprihatinannya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurutnya, dampak dari kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% saja sudah cukup menekan beban pengusaha.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Beritasatu Special The Forum dengan tema "Simalakama Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen" di kantor B-Universe, PIK 2, Tangerang pada Selasa, 3 Desember, Handaka menekankan urgensi masalah ini. 

Ia mengatakan, "Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini sangat mengkhawatirkan, terutama di tengah kenaikan upah minimum yang sudah kami hadapi. Kami berharap pemerintah mempertimbangkan untuk membatalkan rencana ini hingga kondisi ekonomi lebih mendukung bagi pelaku usaha."

Lebih lanjut, Handaka menjelaskan bahwa sebelum rencana kenaikan PPN ini diumumkan, pengusaha sudah tertekan oleh kenaikan harga bahan baku. Ia memprediksi bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen dapat memicu peningkatan biaya produksi, yang berpotensi membuat harga produk melambung lebih dari 5 persen.

BACA JUGA:Ekonom: Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tambah Tekanan Inflasi

BACA JUGA:Pemerintah Komitmen Permudah Akses KUR yang Inklusif dan Efektif Bagi UMKM

"Ketika harga produk naik, kami khawatir akan terjadi penurunan penjualan, terutama dengan menurunnya daya beli masyarakat yang kini lebih berhati-hati dalam berbelanja," tambahnya.

Handaka memperingatkan bahwa jika pemerintah tetap melanjutkan rencana kenaikan PPN pada 1 Januari 2025, para pengusaha akan menghadapi tantangan berat. 

"Bagi toko ritel, jika penjualan tidak tercapai sementara biaya seperti gaji karyawan, sewa, dan listrik tetap tinggi, situasinya akan menjadi sangat sulit. Dalam kondisi seperti itu, kami mungkin terpaksa mengurangi jumlah toko daripada terus beroperasi dengan kerugian yang terus bertambah," jelas Handaka. (beritasatu)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan