Menyeimbangkan Bandul Geopolitik dengan Diplomasi
Presiden Prabowo Subianto (kiri) melakukan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (kanan) di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (12/11/2024).-Hafidz Mubarak A/Spt.-ANTARA FOTO
Berdasarkan UNCLOS, Nine-Dash Line yang diklaim oleh China tidak memiliki dasar hukum yang sah. Hukum UNCLOS ini yang juga menjadi pegangan negara anggota ASEAN lainnya: Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Namun China tetap mempertahankannya atas dasar sejarah dan pengaruh budaya.
Indonesia menetapkan bahwa ZEE di sekitar Natuna adalah sah milik NKRI sesuai ketentuan UNCLOS. Dalam konteks ini, pernyataan bersama yang dikeluarkan Indonesia dan China tidak diartikan sebagai pengakuan terhadap Nine-Dash Line, tetapi sebatas upaya diplomasi dalam menjaga stabilitas kawasan.
BACA JUGA:Mengokohkan Industri Kelapa Sawit, Mengakselerasi Transisi Energi
Penandatanganan pernyataan bersama dengan China ini mengandung pilihan bagi Indonesia untuk lebih mengutamakan stabilitas di kawasan dan kepentingan nasional. Nine-Dash Line yang selama ini dinilai sebagai ancaman oleh negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia memilih pendekatan diplomasi de facto: menjaga hubungan baik dengan China.
Indonesia mencoba membangun keseimbangan antara mempertahankan posisi hukum (de jure) di bawah UNCLOS, dengan pengakuan terhadap realitas pengaruh China yang semakin besar di kawasan (de facto).
Keputusan ini memiliki keuntungan dalam menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat hubungan lima pilar dengan China, tetapi juga menimbulkan risiko kehilangan dukungan ASEAN dalam menghadapi klaim China. Dengan mengambil langkah diplomatik yang hati-hati dan tetap memantau aktivitas China di kawasan tersebut, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya tanpa mengorbankan stabilitas regional.
Dalam kaitan klaim China di kawasan LCS, Indonesia melihat Amerika Serikat memposisikan NKRI, dan negara anggota ASEAN lainnya seolah sebagai benteng regional melawan China. Situasi ini yang membuat Indonesia dan ASEAN dalam posisi sebagai negara proksi di tengah ketegangan kedua negara China dan AS.
Pemerintahan Presiden Prabowo menempuh pendekatan pragmatis dengan memanfaatkan hubungan dengan China dan AS untuk memajukan kepentingan nasional sebagai bentuk membangun keseimbangan baru di kawasan.
BACA JUGA:Merawat Dinamika Pilkada 2024 Dari Ranah Siber
Diplomasi Presiden Prabowo dan meningkatnya kepentingan ekonomi Indonesia dapat memberikan peluang untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam urusan regional dan global, tetapi ini memerlukan keseimbangan sehingga diplomasi yang tidak memihak menjadi prinsip penting. Tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek lain agar tidak dimanfaatkan sebagai negara proksi.
Pada akhirnya, dengan menyatukan kekuatan dari berbagai sisi, membangun sinergi dengan seluruh elemen bangsa, diharapkan mampu menghantarkan bangsa Indonesia untuk mengolah potensi unggulan nasional guna membangun kekuatan nasional yang kuat dan tangguh demi mewujudkan Indonesia Emas 2045. (ant)
Oleh: Ngasiman Djoyonegoro, Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan