Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Jadi Ancaman Baru Terhadap Daya Beli
Rencana Pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025 dikhawatirkan bakal menurunkan daya beli.-Istimewa-
BELITONGEKSPRES.COM - Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025, dengan tujuan meningkatkan penerimaan negara. Namun, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan stabilitas sektor industri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, menyoroti bahwa kenaikan PPN dapat memperburuk kondisi sektor industri, khususnya makanan dan minuman (mamin).
“Kami memahami pentingnya penerimaan negara, tetapi kenaikan ini akan memukul industri di saat daya beli masyarakat sedang turun. Industri mamin perlu waktu untuk konsolidasi dan mencari efisiensi sebelum menghadapi tambahan beban pajak,” kata Adhi dalam pernyataannya, Jumat, 15 November 2024.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa masyarakat kelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR akan menjadi kelompok paling terdampak.
BACA JUGA:Zulkifli Hasan Optimis Indonesia Capai Swasembada Pangan pada 2028
BACA JUGA:Wamenaker Immanuel Ebenezer Komitmen Lindungi 50.000 Buruh Sritex dari Ancaman PHK
“PPN lebih tinggi berarti harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok, akan meningkat. Kelompok kelas menengah mungkin harus mengurangi konsumsi barang penting, yang pada akhirnya melemahkan konsumsi domestik—motor utama perekonomian Indonesia,” ujar Achmad.
Risiko Inflasi dan Dampak pada UKM
Kenaikan PPN hampir pasti akan memicu inflasi. UKM, yang sering kali memiliki margin keuntungan tipis, akan menghadapi dilema: menaikkan harga produk atau mengurangi keuntungan. Kedua opsi tersebut berisiko mengganggu kelangsungan usaha.
“Biaya operasional yang meningkat bisa memaksa UKM memangkas tenaga kerja, berpotensi menambah angka pengangguran,” jelas Achmad.
Di tengah pemulihan ekonomi, Achmad menyebut kenaikan PPN menjadi 12% sebagai langkah yang kurang bijak. Ia mendorong pemerintah untuk mengeksplorasi alternatif yang lebih inovatif dan tidak membebani masyarakat.
BACA JUGA:Impor Susu Meningkat 7,07 persen Dibanding 2023, Capai 257 Ribu Ton hingga Oktober 2024
BACA JUGA:Untuk Keberlanjutan Fiskal, Sri Mulyani: Kebijakan Kenaikan PPN Tidak Dibuat Secara Membabi Buta
“Pemerintah harus mencari solusi yang tidak merugikan kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Pilihan seperti optimalisasi penerimaan dari sektor lain atau peningkatan efisiensi anggaran bisa menjadi alternatif,” tambahnya.
Sebelum mengimplementasikan kebijakan ini, pemerintah diharapkan mengadakan diskusi dengan berbagai pihak, termasuk pelaku usaha, akademisi, dan perwakilan masyarakat.