Memacu Daya Saing 'Emas Hijau' di Pesisir Utara Jawa Barat
Seorang pekerja memanen rumput laut di sebuah tambak di kawasan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (5/10/2024). -ANTARA-Sinta Ambar
Produk mi berbahan rumput laut buatannya sempat dilirik pembeli asal India, namun lagi-lagi terbentur keterbatasan peralatan produksi yakni kendala dalam proses pembekuan serta pengeringan bahan baku mi.
BACA JUGA:Menilik Lini Bisnis Sritex Usai Pailit
Dalam hilirisasi rumput laut di Karawang, Usup yang juga Ketua Koperasi Mina Agar Makmur ini menggandeng Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Jamal Basmalah mengembangkan komoditas rumput laut menjadi produk nonpangan berupa biostimulan.
Produk yang telah diteliti Jamal sejak 2012 ini sebagai bentuk pemanfaatan secara menyeluruh alias zero waste dari rumput laut. Produk ini berdasarkan riset Jamal mampu mengurai sisa pakan sehingga kualitas air sebagai media budidaya dapat terjaga sehingga berpengaruh pada pertumbuhan dan peningkatan daya tahan ikan.
“Dia itu sebagai prebiotik. Prebiotik itu kan makanan yang kita kasih ke ikan diharapkan semua dicerna. Kalau semua dicerna kan berarti fesesnya sedikit. Kalau feses sedikit, amonia sedikit, ikannya jadi bagus,” jelas Jamal.
Kini, produk biostimulan yang diproduksi di bawah naungan Koperasi Mina Agar Makmur Karawang mampu memproduksi sebanyak 1.000 liter dengan harga terjangkau.
Selain untuk budi daya perikanan, biostimulan ini juga diklaim dapat digunakan untuk semua jenis tanaman pangan dengan mencampur biostimulan dan air dengan perbandingan 1:10 atau 1 liter biostimulan dengan 10 liter air dan dapat digunakan untuk lahan seluas 10 hektare.
BACA JUGA:Optimisme Sepak Bola Indonesia Mendunia
Dengan memanfaatkan biostimulan, Jamal mengungkapkan, tanaman pangan pun menjadi organik dan berkontribusi mengurangi beban tanah yang telah tercemari oleh pestisida dan bahan kimia lainnya. Biostimulan juga mampu memberikan nutrisi mikro bagi ikan serta tanaman panganz seperti padi dan lainnya.
Inovasi tersebut menjadi jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh Usup yang sempat mengeluhkan air bioflok budi daya sidat miliknya kotor sehingga berpengaruh pada hasil pertumbuhan ikan. Persoalan ini juga menjawab adanya pasokan rumput laut yang mulai melimpah karena masyarakat sekitar mulai tertarik membudidayakan rumput laut di tambak masing-masing.
Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan biostimulan ini dilatarbelakangi oleh potensi rumput laut Indonesia sebesar 9,2 juta ton per tahun, sementara pemanfaatan komoditas ini untuk industri hanya sebesar 5,4 juta ton sehingga masih terdapat sekitar 3 hingga 4 juta ton rumput laut yang belum termanfaatkan alias surplus.
Usup dan Jamal lantas bersepakat untuk memanfaatkan komoditas rumput laut yang juga sebagai hilirisasi emas hijau ini sebagai biostimulan atau suplemen perikanan dan tanaman.
BACA JUGA:Mengukir Kemandirian Energi Bersih di 'Telur Emas' Bali
“Baru 3 hari langsung bagus kualitas airnya. Jadi biasanya kan airnya itu keruh karena banyak sisa pakan yang tidak terurai,” ujar Usup.
Selain ikan sidat, pihaknya juga menjajal biostimulan berbasis rumput laut pada komoditas udang hingga bandeng. Ia mengklaim hasil pertumbuhan komoditas situ lebih cepat dibandingkan dengan cara budi daya tradisional bahkan memberikan ketahanan hidup ikan budi daya (survival rate) hingga 70 persen.