Hendrya Sylpana

Memacu Daya Saing 'Emas Hijau' di Pesisir Utara Jawa Barat

Seorang pekerja memanen rumput laut di sebuah tambak di kawasan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (5/10/2024). -ANTARA-Sinta Ambar

BELITONGEKSPRES.COM - Angin semilir menerpa wajah lelah Usup Supriyatna, pembudi daya rumput laut di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sambil memicingkan mata melawan terik sinar Matahari, ia bercerita tentang kesehariannya sebagai pembudi daya kepada rombongan yang datang dari Jakarta.

Pembawaannya tenang namun bersemangat kala menceritakan awal mula ia membudidayakan komoditas yang kerap disebut "emas hijau" ini. Ya, rumput laut memang telah banyak mengubah hidupnya. Kini, ekonominya dan keluarga sepenuhnya bergantung pada komoditas yang populer disebut seaweed ini.

Dapat modal dari orang asing

Perjalanan dan rezeki orang memang tak ada yang tahu, begitulah yang Usup tegaskan beberapa kali saat berbincang dengannya di sebuah rumah produksi yang terhitung sederhana.

Ia menceritakan 19 tahun yang lalu, kala masih berjualan bandeng presto, ia dikenalkan dengan salah seorang profesor asal Taiwan yang disapanya Mister Wang oleh salah seorang rekanan di Jakarta.

BACA JUGA:Perlinsos, Ikhtiar Menaikkan Kelas Masyarakat Pra-Sejahtera

Dari perkenalan itu, Usup mendapat tawaran untuk mengembangkan rumput laut di Karawang yang memiliki potensi tambak untuk dikembangkan dengan komoditas yang saat itu masih asing di kawasan ini. Mayoritas masyarakat Karawang kala itu memang membudidayakan komoditas bandeng dan udang yang cocok dengan perairan kawasan itu.

Investor asal Taiwan itu lantas memberikan modal dengan menyewa tambak untuk mengembangkan rumput laut jenis gracillaria dan pada 2006 riset budi daya rumput laut pun dimulai.

Memulai riset didampingi sang profesor, selama 6 bulan akhirnya ditemukan formula dan cara budi daya yang tepat untuk rumput laut di pesisir utara Jawa ini. Sayangnya, saat rumput laut telah berhasil dibudidayakan, sang profesor terpaksa kembali ke kampung halamannya karena alasan kesehatan. Usup kemudian diminta untuk mengembangkan komoditas ini dan membagikan ilmu yang dipelajarinya kepada masyarakat sekitar.

Pada 2007, Usup menceritakan, salah satu manajer perusahaan pengolahan agar-agar mendatanginya dan tertarik memanfaatkan rumput laut kering hasil budi dayanya.

BACA JUGA:Deflasi Berkepanjangan: Pilih Bertahan atau Banting Setir?

Lebih jauh, untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai ekonomi dari rumput laut, ia pun memproduksi agar-agar strip pada 2007 didampingi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk dipasarkan ke beberapa daerah.

Singkat cerita, suatu malam saat usai menyaksikan pertandingan sepak bola, ia menilik dapur miliknya untuk membuat kudapan sederhana. Ia pun terpikir untuk membuat mi  instan berbahan rumput laut yang dapat dikonsumsi dengan mudah hanya dengan diseduh.

Ide yang muncul pada 2018 itu pun lantas dikembangkan menjadi mi kristal yang dapat dikonsumsi setelah diseduh dengan air panas selama 3 menit. Memasuki masa pandemi COVID-19 pada akhir 2019, Usup mengisahkan mi kristal buatannya mulai dilirik pasar yang saat itu sangat fokus pada kesehatan, salah satunya masyarakat yang tengah diet. Pasalnya, mi kristal dianggap memiliki kandungan kalori yang rendah namun tinggi serat.

Kini mi rumput laut buatannya telah dilanggani konsumen asal Jakarta Selatan yang memesan mi kristal tanpa merek (maklon). Dengan peralatan yang masih sederhana, Usup mengakui hanya mampu memenuhi pesanan mi kristal sebesar 5.500 paket per bulan dengan harga yang dibanderol sekitar Rp15.000 per cup.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan