Jangan Salah Menilai (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian--

Tahap ketiga adalah Verification. Pada tahap ini membantu kita mencari informasi lebih lanjut untuk menguji validitas interpretasi awal, apakah sudah sesuai dengan maksud dan fakta yang sebenarnya. Pertanyaan pribadi kunci pada tahap ini yaitu, penafsifan saya yang manakah yang kemungkinan akurat? Apa lagi yang perlu saya ketahui untuk mengetahui interpretasi mana yang paling mungkin?

Dari ilustasi contoh di kafe, pada tahap ketiga ini kita perlu memutuskan untuk memperhatikan lebih lanjut perilaku orang tersebut. Kita ternyata mendengar orang itu berbicara dengan kasir dengan nada suara terburu-buru, dan ternyata sebenarnya ia sedang meminta bantuan karena kehilangan dompet. Dari sini, kita bisa memverifikasi bahwa kemungkinan besar orang tersebut sedang cemas karena situasi yang mendesak.

BACA JUGA:Diplomasi untuk Kemanfaatan Ekonomi Indonesia Ala Joko Widodo

Terakhir, di tahap Evaluation, kita dapat mengevaluasi jika terdapat kesalahan dalam menafsirkan data, dan akhirnya memberikan penilaian yang lebih akurat setelah informasi yang cukup tersedia. Pertanyaan pribadi kunci pada tahap ini yakni, bagaimana saya menilai apa yang saya lihat? Bagaimana perasaan saya tentang apa yang saya pikir sedang terjadi? Apakah itu baik atau buruk? Benar atau salah? 

Pada tahap Evaluation ini, setelah memahami konteks situasinya pada ilustrasi contoh di kafe, kita akhirnya bisa memberikan penilaian yang lebih akurat, yaitu bahwa orang yang kita amati di kafe tersebut ternyata tidak sedang marah atau tidak sopan, melainkan sedang menghadapi masalah pribadi yang membuatnya tampak tegang dan terburu-buru. Perasaan yang awalnya mungkin merasa jengkel karena dia tidak senyum atau menyapa siapa pun, kini bergeser menjadi empati setelah mengetahui situasi sebenarnya. 

Jika kita tidak menerapkan model penangguhan penilaian seperti The DIVE ini, konsekuensinya bisa fatal. Dengan tidak adanya pedoman yang tepat, misinterpretasi atau miskomunikasi bisa saja terjadi. Alhasil, ihwal ini berpotensi menyebabkan konflik atau pengambilan keputusan yang salah. Dalam interaksi lintas budaya, kesalahan penilaian bisa menyebabkan stereotip yang merusak hubungan, atau bahkan memperburuk ketegangan antar kelompok.

Model The DIVE juga mengungkap asumsi-asumsi tersembunyi yang terkadang tidak kita sadari saat mengamati sesuatu. Menurut Janet Bennett (2020), model DIVE membawa asumsi-asumsi tersembunyi ke dalam cahaya (kejelasan), mendorong rasa ingin tahu (curiosity) dan kerendahan hati (humility) saat kita berusaha memahami apakah interpretasi kita terhubung dengan kenyataan. Ini membantu kita menjadi lebih sadar akan bias dan asumsi yang kita bawa, sehingga kita dapat melihat sesuatu dengan perspektif yang lebih terbuka.

BACA JUGA:Diplomasi untuk Kemanfaatan Ekonomi Indonesia Ala Joko Widodo

Penafsiran seseorang acap kali berakar pada nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan pengalaman pribadi. Itulah mengapa model The DIVE sangat penting untuk memperluas jangkauan interpretasi kita. Dengan memberikan waktu untuk memverifikasi informasi, kita dapat membuat penilaian yang lebih tepat dan adil. Menunda penilaian dan melakukan verifikasi sebelum mengevaluasi adalah kunci untuk menghindari bias, seperti yang dijelaskan dalam teori confirmation bias oleh Raymond Nickerson, di mana manusia cenderung mencari informasi yang hanya memperkuat pandangan awal mereka (Nickerson, 1998).

Penutup

Pada kenyataannya, hidup ibarat alunan sebuah lagu yang kadang terdengar sederhana, namun setiap nada menyimpan cerita, dan setiap irama membawa pesan yang lebih dalam dari sekadar bunyi. Sebuah penilaian yang terlalu cepat dapat menghalangi kita melihat keindahan yang ada di balik harmoni sebuah lagu, bahkan harmoni sosial dalam keragaman masyarakat. 

Perjalanan kita dalam memahami orang lain adalah perjalanan dalam memahami diri sendiri. Suatu kerumunan yang ramai, sepenggal interaksi singkat, atau pertemuan lintas budaya bukanlah sekadar rangkaian peristiwa yang saling terpisah. Melainkan cermin dari keyakinan, asumsi, dan prasangka yang kita bawa dalam diri.

Ketika kita menunda atau menangguhkan penilaian, kita membuka ruang bagi kemungkinan-kemungkinan baru, kesempatan untuk mendengar cerita yang tak pernah diucapkan, dan menyelami makna yang lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan. Kita belajar bahwa tidak semua yang terlihat “asing” harus ditolak, dan tidak semua yang terasa “berbeda” harus dipahami secara tergesa-gesa.

BACA JUGA:Urgensi Program Makan Bergizi Gratis bagi Indonesia Emas 2045

Setiap individu adalah dunia yang kompleks, di mana pengalaman hidup, budaya, dan kepercayaan saling membentuk satu sama lain. Dengan suspending judgement, kita memberi diri kita waktu untuk mengenal dunia-dunia ini dengan lebih bijaksana dan rendah hati.

Seperti sebuah buku yang tak dapat dimengerti hanya dengan melihat sampulnya, kehidupan pun harus dibaca secara tepat, halaman demi halaman, sebelum kita bisa memahami pesan tersirat dan tersurat yang seutuhnya. Suspending judgement bukan hanya sekadar prinsip, melainkan laku hidup yang membawa kita menuju pemahaman yang lebih luas tentang diri dan dunia sekitar, yakni sebuah jalan menuju kedamaian dan harmonisasi sosial dalam keberagaman. Semoga kita jangan sampai salah menilai.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan