Hendrya Sylpana

Jangan Salah Menilai (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian--

“Mungkin, kau selalu menduga. Diriku tak pernah memahamimu. Bahkan, kau selalu curiga. Ada yang lain, dan kuduakan cintamu.”

Sepenggal lirik dari lagu bergaya lawas dengan judul “Jangan Salah Menilai” ini begitu familier di resepsi pernikahan, serta di kalangan Baby Boomers, Gen X, hingga beberapa generasi lainnya. Lagu yang dipopulerkan oleh Tagor Pangaribuan tahun 2015 ini mengingatkan kita agar tidak hanya melihat sesuatu dari luar saja.

Walaupun lagu ini berkisah romansa, namun esensinya mengenai apa yang tampak di permukaan tidak selalu mencerminkan isi hati yang sesungguhnya. Lirik pada lagu ini begitu sederhana, namun menyimpan pesan yang mendalam, yakni jangan terburu-buru untuk menyimpulkan sesuatu hanya dari penampilan luar saja.

Bayangkan sebuah kerumunan besar di pusat kota pada suatu sore. Orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa, mobil-mobil berlalu lalang, dan suasana tampak riuh. Seseorang yang baru pertama kali melihatnya mungkin berpendapat bahwa tempat itu tidak nyaman, bahkan penuh dengan orang-orang yang tidak peduli satu sama lain. Namun, apakah benar demikian?

BACA JUGA:Merawat Masa Depan Bangsa Lewat Tata Kelola Data Pribadi yang Bijak

Menggunakan prinsip suspend judgement atau menangguhkan penilaian mengingatkan kita bahwa apa yang tampak tidak selalu mencerminkan realitas, seperti lagu “Jangan Salah Menilai”. Kerumunan itu mungkin berisi individu yang sibuk dengan urusannya masing-masing, atau ada interaksi sosial yang tak terlihat di balik kesibukan tersebut. Ini menjadi contoh nyata betapa pentingnya kita menunda penilaian untuk menghindari salah paham.

Suspending Judgement

Ketika mengikuti program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024, materi Suspending Judgement menjadi salah satu pelajaran penting yang menguatkan perspektif penulis dalam upaya preventif konflik dan memahami diversitas. Kami diajarkan untuk menunda penilaian, khususnya dalam konteks lintas budaya dan situasi yang belum kita pahami sepenuhnya.

Ihwal ini sangat berguna, terutama ketika kita berhadapan dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Penulis belajar bahwa terlalu cepat membuat kesimpulan bisa menutup kesempatan untuk memahami situasi yang sebenarnya dan secara lebih mendalam. 

BACA JUGA:Presiden Baru, Harapan Baru Menuju Indonesia Maju

Janet Bennett (2021) sebagai pakar komunikasi antarbudaya menyampaikan bahwa ketika kita terburu-buru menghakimi, kita kehilangan kesempatan untuk memahami apa yang sebenarnya memotivasi perilaku dalam konteks yang beragam.

Mempelajari suspending judgement ini memiliki manfaat besar, terutama dalam dunia pendidikan dan masyarakat yang semakin plural dan mengglobal. Milton Bennett (2019) menyatakan bahwa menangguhkan atau menunda penilaian membantu kita untuk beralih dari perspektif etnosentris ke pandangan yang lebih etnorelatif, di mana kita menghargai perbedaan budaya dan bukan menghakiminya, apalagi terlalu cepat.

Di dunia sekolah, acap kali kita melihat siswa hanya dari perilaku eksternal mereka. Misalnya, seorang siswa pendiam mungkin dianggap tidak kompeten, padahal ia hanya memerlukan waktu lebih untuk menyesuaikan diri. Memahami pentingnya menunda penilaian dapat membantu pendidik memahami siswa lebih tepat, sehingga hubungan mereka menjadi lebih baik.

Dalam artikel penulis sebelumnya yakni "Di Balik Topeng Stereotip dan Generalisasi" (Belitong Ekspers, 14/10/2024), penulis membahas bagaimana stereotip dan generalisasi dapat memengaruhi cara kita memandang orang lain. 

Misalnya, kita cenderung menilai seseorang berdasarkan label stereotip gender (laki-laki atau perempuan), usia (tua atau muda), atau etnis (suku mayoritas, minoritas, dsb), tanpa benar-benar mengenal mereka sesungguhnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan