Hendrya Sylpana

Keadilan Restoratif, Terobosan Hukum yang Lebih Humanis

Personel Polres Simalungun memberikan sanksi sosial kepada tersangka kasus pencurian sawit setelah menjalani penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif yang difasilitasi Polres Simalungun. (ANTARA/HO- Humas Polres Simalungun)--

Namun demikian, tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan sistem keadilan restoratif  karena ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi di antaranya, telah dilaksanakan proses perdamaian, belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.

BACA JUGA:Tips Pentingnya Merawat Indera Penglihatan: Mata Sehat, Hidup Berkualitas

Selain itu ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

Sementara syarat keadilan restoratif khusus penyalahgunaan narkotika adalah berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode know your suspect, para tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir.

Persyaratan lainnya yaitu tidak pernah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO), dan berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, atau penyalahguna narkotika dan lainnya.

Lembaga ini juga masih memegang kendali apakah putusan permohonan keadilan restoratif diterima atau tidak terpusat dan dikomandoi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum).

Ini semua dilakukan untuk memastikan pengawasan program keadilan restoratif berjalan sesuai dengan tujuan awal, tidak dimanfaatkan oleh oknum jaksa di daerah.

BACA JUGA:Di Balik Topeng Stereotip dan Generalisasi (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Keadilan restoratif di tubuh Polri

Penerapan keadilan restoratif secara peraturan di tubuh Bhayangkara melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 memang lebih muda daripada di Kejagung.

Akan tetapi, secara kuantitas kasus yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif sudah mencapai 48.118 perkara dari mulai diberlakukannya pada 2021 hingga akhir 2023, atau sekitar 5,8 persen dari total tindak kejahatan dalam periode itu sebanyak 822.722  kasus. 

Ini menunjukkan terdapat permasalahan hukum yang bisa diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.

Sebagai lembaga yang memiliki anggota hingga pelosok desa memang wajar jika penerapan keadilan restoratif dapat terlaksana dengan baik dan mencakup puluhan ribu perkara yang diselesaikan. Apalagi konsep ini menjadi program prioritas Polri untuk mewujudkan reformasi kepolisian yang humanis dan berkeadilan.

Keadilan restoratif dinilai memiliki konsep yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia, yakni musyawarah dan mufakat sehingga diharapkan dapat menghasilkan penghukuman yang bukan berorientasi pada 'pembalasan' melainkan 'pemulihan hak'. Penegakan hukum hanya upaya terakhir dalam penyelesaian masalah tertentu manakala proses itu mengalami kebuntuan.

BACA JUGA:Apakah AI Mengancam Demokrasi? Dampak Deepfake dalam Politik

Salah satu penerapan keadilan restoratif yang mendapat perhatian masyarakat adalah kasus yang menimpa Munir Alamsyah (53), mantan guru honorer di Kabupaten Garut pada tahun 2022. Munir membakar bangunan SMPN 1 Cikelet tempat mengajarnya dulu lantaran sakit hati lantaran gajinya selama mengajar tidak kunjung dibayarkan. Munir Alamsyah merupakan guru honorer mata pelajaran Fisika di SMPN 1 Cikelet tahun 1996 sampai 1998 yang memiliki kecerdasan dan menjadi kebanggaan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan