Hendrya Sylpana

Ketika Zona Nyaman Menjadi Perangkap (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

Ares Faujian--

Jika kita mampu mengelola transisi dari zona nyaman ke zona belajar (learning zone), kita dapat mencapai perkembangan yang maksimal. Lev Vygotsky (1978), psikolog pendidikan yang mengenalkan konsep serupa melalui konsep Zone of Proximal Development (ZPD). Konsep ini menggambarkan zona antara apa yang dapat dilakukan seorang anak secara mandiri dan apa yang bisa dilakukan dengan bimbingan (Vygotsky, 1978).

Ilustrasi zona belajar atau learning zone yakni, jika seorang pelajar mendapat kesempatan mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang. Di sana, dia berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki budaya, bahasa, dan kebiasaan yang berbeda. Awalnya dia merasa sedikit canggung, tetapi dengan bimbingan dari guru pendamping dan teman-teman lokal, dia mulai mempelajari adat istiadat baru, kebiasaan makan, serta tata krama sosial di Jepang. Meskipun awalnya keluar dari zona nyaman, pelajar ini mulai merasa lebih percaya diri seiring dengan proses adaptasinya.

Namun, momen di luar zona nyaman juga bisa menimbulkan kepanikan (panic zone). Ketika seseorang tiba-tiba ditempatkan dalam situasi baru yang asing, respons naluri dasar seperti ketakutan dan kecemasan dapat muncul. Di saat seperti itu, bagian kognitif otak sering kali lumpuh dan naluri untuk “melarikan diri” mengambil alih.

Ilustrasi dari zona panik atau panic zone ini yaitu, jika seorang pelajar tiba-tiba ditempatkan di lingkungan yang sangat asing, seperti di pedalaman negara baru yang tidak ada orang yang berbicara bahasa Inggris atau Indonesia, tanpa bimbingan atau dukungan dari siapapun. Karena merasa tidak bisa berkomunikasi, memahami budaya, atau beradaptasi dengan lingkungan baru, dia mulai merasa sangat cemas dan terisolasi. Kondisi ini membuatnya merasa kewalahan dan ingin segera pulang, daripada mencoba belajar dari situasi tersebut.

BACA JUGA:Layanan Paylater Bertumbuh Ditengah Penurunan Daya Beli

Amy Cuddy (2015), dalam bukunya Presence: Bringing Your Boldest Self to Your Biggest Challenges, menjelaskan bahwa momen panik bukanlah saat terbaik untuk belajar atau berpikir jernih, karena otak kita lebih fokus pada pertahanan diri. Cuddy menekankan bahwa untuk menghadapi situasi-situasi menegangkan ini, seseorang perlu melatih keberanian dan mindfulness (Cuddy, 2015).

Strategi Regulasi Diri

Pada program AFS (2024), kami diinformasikan mengenai pentingnya kesehatan mental ketika berada di luar zona nyaman. Dalam situasi di luar zona nyaman, yakni zona belajar atau zona panik, menjaga kesehatan mental ini merupakan kunci. Berbagai aplikasi seperti MoodyMe, Find Your Calm, Headspace, Mood Track, hingga Reflectly dirancang guna mendukung kita menghadapi frustrasi dan kekhawatiran yang timbul ketika keluar dari zona nyaman. Ragam aplikasi ini menyediakan fitur untuk mengetahui suasana hati, meditasi, serta latihan mindfulness (kesadaran penuh) yang bisa menentramkan hati serta pikiran.

Dalam program AFS (2024), penulis diajarkan mengatasi zona panik. Untuk mengatasi momen panik ini, strategi regulasi diri sangat vital. Langkah pertama yang bisa dilakukan ialah mencari tempat aman dan menuliskan apa yang mengganggu pikiran. Ihwal ini bisa diimplementasikan dengan membuat jurnal guna membantu menata kembali pikiran yang kalut. James Pennebaker (1997), psikolog dari University of Texas menjelaskan bahwa menulis ekspresif dapat membantu mengurangi kecemasan, meningkatkan kesejahteraan, dan memperjelas pengalaman emosional.

BACA JUGA:Garuda Semakin Solid dan Berkembang

Langkah kedua ialah berada pada lingkungan yang familier untuk menenangkan diri. Berada pada lingkungan yang tepat akan membantu kita memudahkan menenangkan diri, termasuk lancar dalam menulis jurnal masalah diri. Amy Cuddy dalam bukunya Presence: Bringing Your Boldest Self to Your Biggest Challenges (2015) menekankan bahwa ketika seseorang berada di lingkungan yang familier, mereka lebih mampu mengendalikan reaksi stres dan memfokuskan diri pada penyelesaian masalah.

Langkah ketiga ialah melakukan mental retreat, yakni dengan menarik diri sejenak dari situasi yang menekan, mengatur napas, dan memberikan waktu bagi diri sendiri untuk tenang. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (1995) menjelaskan pentingnya mental retreat untuk mengelola stres. Ia mengungkapkan bahwa mengambil jeda singkat dan melakukan pengaturan napas dalam dapat menurunkan level hormon stres dalam tubuh, sehingga membantu seseorang berpikir lebih jernih dan tenang dalam situasi menekan (Goleman, 1995). 

Langkah keempat ialah berbicara dengan seseorang tentang pengalaman tersebut. Berbagi cerita dapat membantu meringankan beban dan memperjelas situasi. Brené Brown dalam bukunya Daring Greatly (2012) berbicara tentang pentingnya berbagi cerita dengan orang lain. Ia mengatakan bahwa keterbukaan terhadap orang lain dan berbagi pengalaman pribadi dapat mengurangi perasaan isolasi dan meringankan beban emosi. Proses ini tidak hanya membantu kita memperjelas situasi yang dihadapi, tetapi juga menciptakan hubungan emosional yang mendukung (Brown, 2012).

BACA JUGA:Urgensi 'Green Financing' Ditengah Darurat Krisis Iklim Global

Menulis dan menceritakan momen panik kepada orang lain memiliki manfaat luar biasa dalam menenangkan pikiran. Dengan menuliskan dan menceritakan apa yang dirasakan, kita memberikan ruang untuk meluapkan emosi yang terpendam dan memberi kesempatan bagi pikiran dan hati untuk kembali berpikir jernih.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan