Hendrya Sylpana

Kolaborasi Anak Muda Bali Menggarap Animasi Tanpa Gaji

Beberapa anak muda penggagas seri animasi Made & the Lost Spirit sedang berdiskusi di Denpasar, Selasa (6/8/2024). ANTARA/Ni Putu Putri Muliantari--

Di tengah kemajuan teknologi digital, Pulau Bali masih setia dengan pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokalnya.

Namun di tengah keadaan monoton itu, ada sekelompok anak muda usia 20 tahunan yang ingin mendayagunakan kemahiran mereka untuk menampilkan Bali melalui karya animasi. Mereka tidak ingin Bali berkembang dengan pariwisata yang itu-itu saja.

Setidaknya 15 anak muda yang berasal dari beragam sekolah kejuruan dan perguruan tinggi itu berkolaborasi dan menggagas sebuah seri animasi yang menceritakan kearifan lokal Bali.

Proyek pertama mereka diberi judul "Made & the Lost Spirit", sebuah kisah petualangan anak laki-laki yang berjuang mengembalikan keadaan desanya yang hancur karena ulah kala atau sosok makhluk jahat.

BACA JUGA:Meningkatkan Pembiayaan dari LPBBTI ke Sektor Produktif dan UMKM

Dikisahkan, dalam perjalanan Made bertemu roh baik bernama Dharma yang berwujud barong. Ini terinspirasi dari cerita Rahina Galungan di Bali yang temanya kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan), begitu menurut animator sekaligus penggagas proyek Ida Bagus Ista Krishna.

Dalam bangunan ruko sesak berukuran 6x6 meter, 15 anak muda itu bekerja siang malam untuk mewujudkan seri animasi ini.

Bukan jenis pekerjaan yang bisa dilalui dengan jalan pintas, memang. Sejak Februari hingga Juli, mereka baru sanggup menyelesaikan 2 menit cuplikan utuh animasi Made karena keterbatasan komputer. Mereka berkarya pun tanpa menerima gaji sepeser pun.

Mereka hanya mengandalkan kemahiran dalam menggarap animasi dengan peralatan teknologi seadanya.

BACA JUGA:Resiliensi Gregoria yang Berbuah Manis di Paris

Awalnya, Bagus Krishna berinisiatif membuat karya seri animasi Made dengan uang tabungannya. Karena tidak bisa bekerja sendirian, akhirnya ia mencari anak muda Bali di media sosial Instagram dengan latar belakang pendidikan terkait untuk diajak bergabung.

Idealnya untuk animasi berkualitas layar lebar diperlukan teknologi komputer seharga lebih dari Rp50 juta, sementara sekelompok pelajar ini hanya mengandalkan empat unit komputer tua dengan harga Rp8 juta bahkan dengan layar monitor tabung, selebihnya memanfaatkan gawai masing-masing.

“Kami ingin animasi ini jadi bukti bahwa dengan komputer harga Rp8 juta, dengan keahlian, kami bisa. Harapannya ke depan ada peranti yang lebih canggih, ... kami jamin kualitasnya dua kali lipat,” kata dia.

Berkali-kali terjadi gangguan pada alat mereka, bahkan resolusi harus diturunkan demi menyesuaikan kemampuan komputer. Apabila ada bantuan fasilitasi maupun pendanaan mereka dapat bekerja lebih baik dan cepat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan