Penolakan RUU Penyiaran dan implikasinya

Sejumlah jurnalis berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/5/2024). . ANTARA FOTO/Didik Suhartono/nym.--

BACA JUGA:Tantangan Pendidik di Era Kurikulum Merdeka dalam Mengelola Kelas yang Inklusif dan Beragam

Secara ekonomi, penolakan RUU ini juga dapat dipahami dari sudut pandang para pelaku industri penyiaran. Mereka mungkin merasa bahwa aturan baru dapat membebani operasional dan menurunkan daya saing mereka, terutama jika regulasi tersebut memperkenalkan biaya tambahan atau pembatasan yang ketat. Industri penyiaran membutuhkan regulasi yang tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga mendorong inovasi dan investasi. Jika RUU ini dianggap terlalu restriktif, pelaku industri mungkin akan menolaknya demi mempertahankan kelangsungan bisnis mereka.

Secara keseluruhan, penolakan terhadap RUU Penyiaran ini mencerminkan kompleksitas isu yang dihadapi. Regulasi penyiaran haruslah seimbang antara perlindungan kepentingan publik, kemajuan industri, dan kebebasan berekspresi. Legislasi yang baik harus mampu menjawab tantangan-tantangan ini dengan cermat dan inklusif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses penyusunannya. Hanya dengan demikian, regulasi yang dihasilkan bisa diterima luas dan efektif dalam pelaksanaannya.

Dalam hal ini pula menimbulkan spekulasi dari pandangan mahasiswa yang dengan tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Penolakan ini bukanlah tanpa dasar, melainkan karena beberapa alasan yang mendasar dan krusial.

BACA JUGA:Pemerintah Berkomitmen Cegah Anak jadi Korban Judi Online

Pertama, RUU tersebut kurang transparan dalam proses penyusunannya. Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap mengenai isi dan tujuan dari setiap RUU yang sedang dibahas. Transparansi merupakan fondasi penting dalam demokrasi, karena memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam proses legislasi. Sayangnya, dalam kasus ini banyak sekali pasal-pasal yang terkesan disembunyikan dan tidak dijelaskan secara rinci kepada publik.

Kedua, banyak pasal dalam RUU tersebut yang dirasa merugikan rakyat kecil. Sebagai contoh, beberapa ketentuan di dalamnya berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan berserikat, yang merupakan hak dasar setiap warga negara. Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat kebebasan tersebut adalah pilar penting dalam kehidupan demokratis dan akademis. Mahasiswa dan masyarakat luas harus memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat tanpa takut dikriminalisasi atau diintimidasi.

Ketiga, mahasisws merasa bahwa RUU ini disusun tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Sebagai mahasiswa, mewakili suara muda yang peduli terhadap masa depan bangsa, namun merasa diabaikan dalam proses penyusunan RUU ini. Partisipasi publik bukan hanya sekadar formalitas, tetapi esensi dari demokrasi yang sesungguhnya. Jika aspirasi dan kekhawatiran masyarakat tidak didengarkan, maka proses legislasi ini tidak mencerminkan kehendak rakyat.

BACA JUGA:Mimpi Satu Data dari Desa

Oleh karena itu, para mahasiswa juga mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU ini dan membuka dialog yang lebih luas dan inklusif dengan semua elemen masyarakat. Mahasiswa berharap agar setiap RUU yang akan disahkan benar-benar mencerminkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh Devanya Theresia Siregar *)

*) Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Medan Area

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan