Hendrya Sylpana

Memaknai Kartini, Memaknai Kesetaraan Gender

Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Timur, Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA*) (ANTARA/HO-Kejaksaan Tinggi Jawa Timur)--

Meskipun demikian, nasib Kartini pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan perempuan pribumi yang malang. Setelah lulus dari ELS, sebetulnya Kartini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi, namun ditentang oleh orang tuanya. Kartini dipaksa untuk menjadi putri bangsawan dengan mengikuti adat istiadat.

Kartini lalu dipingit selama bertahun-tahun dan baru benar-benar diperbolehkan keluar pada 1898. Kemudian, ia banyak menghabiskan waktu di rumahnya. Kartini yang selalu di rumah, akhirnya mengumpulkan buku-buku pelajaran dan ilmu pengetahuan untuk dibacanya di taman rumah. Dari kebiasaan itu, muncul keinginan Kartini untuk memajukan kehidupan perempuan Indonesia.

Baginya, perempuan tidak hanya di dapur, tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia mulai mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajari tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Di tengah kesibukannya, ia tidak berhenti membaca dan menulis surat kepada teman-temannya yang berada di negeri Belanda.

Di sela-sela itu, Kartini sempat menulis surat kepada Mr.J.H Abendanon dan memohon agar diberikan beasiswa untuk bersekolah di Belanda. Hanya saja, beasiswa tersebut tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat.

BACA JUGA:Menimbang Opsi Terbaik Untuk Menjaga Kestabilan Rupiah

Setelah menikah, Kartini harus ikut suaminya ke daerah Rembang. Beruntung, suaminya mendukung keinginan Kartini mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Tidak berapa lama, Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Beberapa hari setelah melahirkan, Kartini meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904. Jasadnya dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Tubuhnya boleh mati, namun spirit Kartini masih terus hidup hingga kini. Banyaknya perempuan Indonesia yang kini berkiprah di berbagai bidang, merupakan buah dari perjuangan dan cita-cita Kartini untuk kemajuan kaumnya agar sejajar dengan kaum lelaki.

Untuk mengenang sosoknya sebagai pahlawan emansipasi, didirikanlah Sekolah Kartini di berbagai daerah, seperti di Semarang, Malang, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon.

Warisan spirit lain dari tokoh itu adalah antologi surat-suratnya yang dikirim kepada sahabat penanya di Belanda diterbitkan menjadi buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Sri Mulyani (Menteri Keuangan), sebagai salah satu tokoh perempuan Indonesia, memberi pesan khusus untuk Para Perempuan Indonesia dengan menggarisbawahi bahwa menurut Kartini, pengetahuan yang diperoleh dari seseorang merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan bagi individu atau sekelompok orang.

Selain itu, emansipasi wanita yang digencarkan Kartini bermakna untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menghilangkan diskriminasi gender di masyarakat.

BACA JUGA:Menimbang Opsi Terbaik Untuk Menjaga Kestabilan Rupiah

Jargon "kesetaraan gender" sering digemakan oleh para aktivis sosial, kaum perempuan, hingga para politikus Indonesia. Kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan gender semakin meningkat seraya mereka terus menuntut hak yang sama dengan laki-laki, yang merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia.

Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa takut dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama. Harus diakui bahwa sampai saat ini, masih ada anggapan perempuan itu lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan