Menimbang Opsi Terbaik Untuk Menjaga Kestabilan Rupiah

Petugas memeriksa tumpukan uang tunai di Pooling Cash Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa (9/1/2024). (ANTARA FOTO/Rizka Khaerunnisa/sgd/tom.)--

BELITONGEKSPRES.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah menembus  Rp16.000 dalam beberapa hari terakhir. Kondisi ini sempat memunculkan kekhawatiran, terutama dari kalangan dunia usaha.

Pada awal perdagangan Selasa 16 April atau hari kerja pertama setelah libur panjang Lebaran, kurs rupiah dibuka merosot 240 poin atau 1,51 persen menjadi Rp16.088 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya pada 5 April 2024 sebesar Rp15.848 per dolar AS.

Pelemahan rupiah berlanjut hingga Rabu 17 April yang ditutup melemah 44 poin atau 0,28 persen menjadi Rp16.220 per dolar AS dari yang sebelumnya sebesar Rp16.176 per dolar AS.

Namun pada Kamis 18 April pagi, kurs rupiah menguat 43 poin atau 0,27 persen menjadi Rp16.177 per dolar AS. Rupiah diperkirakan berpotensi rebound terhadap dolar AS. Peningkatan nilai tukar rupiah pada Kamis didukung oleh aksi ambil untung (profit taking) setelah penguatan dolar AS belakangan ini.

BACA JUGA:Lapangan 'Kerja Hijau' Bagi Generasi Z

BACA JUGA:Potensi Eskalasi Konflik Iran-Israel dan Harga Minyak yang Mencekik

Kondisi eksternal dinilai menjadi penyebab utama pelemahan nilai tukar rupiah. Selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan global di mana data-data indikator ekonomi AS terlihat masih solid. Hal ini membuat ekspektasi pemotongan suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed menjadi bergeser lebih lama dalam kisaran September 2024.

Pelemahan rupiah juga semakin dibayangi tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah pasca-penyerangan Iran ke Israel pada Sabtu 13 April. Ketegangan antara Iran dan Israel pun kian memperparah ketidakpastian global.

Selain itu, dari sisi internal, pelemahan rupiah juga dikarenakan oleh faktor atau pola musiman di mana pembayaran deviden dan kupon ke non-resident serta pembayaran pokok utang luar negeri (ULN) akan meningkat atau memuncak setiap kuartal kedua di tiap tahunnya.

Melihat kondisi tersebut, Head of Macroeconomic and Financial Market PermataBank, Faisal Rachman, memandang bahwa tekanan rupiah masih cukup tinggi dalam jangka pendek. Namun di sisi lain, masih ada peluang penguatan rupiah kembali mendekati akhir tahun.

Meski rupiah telah menyentuh Rp16.000 dolar per AS, pelemahan rupiah saat ini tidak seperti periode pandemi COVID-19. Sebagaimana diketahui, pandemi kala itu memang membawa dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Posisi pelemahan rupiah kali ini juga jauh berbeda jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998. Saat ini kondisi fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih cukup baik. Apalagi mengingat tekanan rupiah kali ini cenderung bersumber dari ketidakpastian global.

BACA JUGA:Menebar Cita Rasa Robusta Kopi Lamaole Pulau Solor

BACA JUGA:Lebaran jadi Tuas Pendongkrak Sektor Parekraf

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan