KPK Selidiki Aliran Dana Kasus Korupsi Kuota Haji Ke PBNU
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu-Dery Ridwansah-JawaPos.com
BELITONGEKSPRES.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan sedang melakukan penelusuran aliran dana terkait dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2023–2024. Fokus penyelidikan diarahkan pada mekanisme “follow the money” untuk memastikan ke mana dana mengalir, termasuk ke organisasi masyarakat keagamaan yang terlibat dalam penyelenggaraan haji seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan upaya penelusuran tersebut dilakukan bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ia menekankan bahwa langkah ini bukan upaya mendiskreditkan ormas keagamaan, melainkan bagian dari prosedur standar KPK dalam mengusut kasus korupsi dan memulihkan kerugian keuangan negara (asset recovery).
Asep menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji melibatkan organisasi keagamaan sehingga wajar jika penelusuran dana mengarah ke berbagai pihak terkait. Tujuan utamanya adalah memastikan transparansi penggunaan anggaran dan mengembalikan dana yang diselewengkan ke kas negara.
BACA JUGA:DPR Ingatkan Kementerian Haji dan Umrah agar Kasus Korupsi Kuota Haji Tak Terulang
BACA JUGA:Akibat Kuota Haji Tak Sesuai: Biaya dan Subsidi Ikut Terdampak
KPK sebelumnya memulai penyidikan perkara dugaan korupsi kuota haji pada 9 Agustus 2025 setelah meminta keterangan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025.
Lembaga antirasuah itu juga bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian negara yang sementara ini ditaksir lebih dari Rp1 triliun. Selain itu, KPK mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk Yaqut Cholil Qoumas.
Di sisi lain, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan pada penyelenggaraan haji 2024. Sorotan utama pansus adalah pembagian kuota tambahan 20.000 dari Pemerintah Arab Saudi yang dibagi rata 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Praktik ini dinilai tidak sesuai Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen dan 92 persen untuk kuota haji reguler.
Langkah KPK dan pansus ini menunjukkan keseriusan pemerintah dan DPR mengawal tata kelola haji agar lebih transparan dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. (ant)