Mengatasi Defisit Akhlak Anak dengan Tradisi Bertutur

Membacakan cerita pada anak sebelum tidur bisa membangun romantisme hubungan dengan si buah hati--(ANTARA/Sizuka)
Beruntung, tradisi bertutur dalam bentuk mendongeng masih tetap lestari dan bahkan mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Menurut Dewi Kumala Sutra, seorang pendongeng dari Kampung Dongeng Indonesia yang akrab disapa Kak Dede, banyak program pemerintah yang berkolaborasi dengan komunitas pendongeng untuk mengadakan berbagai pelatihan literasi. Bahkan, di beberapa sekolah, mendongeng telah dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum wajib.
Ketika ditanya tentang efektivitas mendongeng sebagai media edukasi dalam membentuk karakter anak, Kak Dede menegaskan bahwa metode ini sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral dan membangun kedekatan emosional.
“Menurut saya sangat efektif, karena memang anak itu masanya bermain sehingga ketika kita memberikan materi lewat cerita itu sangat cepat ditangkap oleh anak,” kata dia usai tampil mendongeng di TK Sumber Harapan Depok, Jawa Barat, akhir pekan kemarin.
BACA JUGA:Mengatasi Konflik dengan Kebijakan Ekonomi
Kak Dede mengenang bagaimana awal ketertarikannya pada dunia dongeng. Saat masih sekolah, ia terinspirasi oleh gaya mengajar guru Agama Islam yang selalu menyampaikan materi melalui cerita. Cara ini membuat pelajaran menjadi lebih menarik dan selalu dinantikan olehnya.
Bukan hanya orang tua, tetapi juga guru di sekolah yang tidak sekadar mengajar, melainkan mendidik dengan cara menyenangkan, cenderung lebih sukses dalam menanamkan nilai-nilai etika dan moral kepada murid-muridnya.
Teknologi dan Nilai
Kemajuan teknologi adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Yang terbaik adalah mengoptimalkan manfaatnya untuk kemajuan peradaban, sembari meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, terutama gawai, peran manusia dalam lingkungan keluarga tidak boleh tergantikan. Jangan sampai momen kebersamaan dan kehangatan antara orang tua dan anak, saudara, serta anggota keluarga lainnya semakin terkikis.
Kehangatan dalam keluarga menjadi kunci utama dalam menanamkan nilai-nilai agama, etika, dan moral, yang pada akhirnya membentuk akhlak anak. Jika defisit akhlak pada generasi Z sudah terjadi, bukan berarti tidak bisa diperbaiki. Orang tua sebagai pendidik utama harus segera menghidupkan kembali tradisi bertutur—sebuah warisan nenek moyang yang efektif dalam menjalin komunikasi yang lebih bermakna dengan anak.
Sementara bagi generasi Alpha, proses pembentukan karakter masih terus berlangsung. Tradisi bertutur bisa dijadikan sarana untuk mendekatkan diri dengan mereka, sehingga generasi digital ini tetap tumbuh dengan nilai-nilai luhur.
BACA JUGA:Momentum Nuzulul Qur’an: Refleksi Perbaikan Ekonomi Umat
Ketika hubungan yang hangat dan erat dengan anak terjalin, membentuk karakter mereka sesuai tuntunan agama bukan lagi hal yang sulit. Seni bertutur masih menjadi metode efektif untuk membimbing anak-anak yang mulai sulit diarahkan. (Antara)