Efek Sihir TikTok, Siapa Saja Bisa Jadi Selebriti?

Ares Faujian-Istimewa-

Di balik pesonanya, TikTok juga memiliki efek gelap. Ketika ketenaran datang terlalu cepat, banyak yang tak siap menghadapinya, sehingga mendapat cyberbullying saat mencoba melakukan rebranding, atau ketika membuat konten yang bertolak belakang dengan keinginan netizen. Ketenaran yang didapat dalam sekejap bisa menghilang dengan cepat pula, tergilas oleh tren baru yang terus bermunculan.

Tidak sedikit TikTokers juga yang terjerat kontroversi. Sebut saja Iky Kabah, salah satu kreator konten TikTok asal Pontianak. Dilansir KOMPAS.com (2025), ia diberitakan mengunggah video dengan menuduh semua guru sebagai koruptor dan pemalak, serta mengajak pengikutnya untuk tidak menghormati profesi guru. Pernyataan ini memicu kemarahan masyarakat luas, mendorong Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) setempat melaporkannya ke polisi pada Maret 2025.

TikTok memiliki sistem algoritma yang canggih yang dapat menyebabkan ketagihan, terutama di kalangan remaja. Ketagihan ini dipengaruhi oleh pengalaman yang melibatkan fokus mental dan konten yang menarik (Qin et al., 2022). Sehingga penggunaan TikTok dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental, termasuk masalah psikologis lainnya seperti perundungan siber dan isolasi sosial (Hassan, 2023). 

Selain itu, TikTok dapat memengaruhi persepsi citra diri pengguna. Meskipun ada yang mempromosikan penerimaan diri, paparan terhadap konten terkait tubuh dapat menyebabkan ketidakpuasan terhadap citra diri (Alamyar & Khotimah, 2023).

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) sangat relevan dalam membahas dampak negatif TikTok ini. FOMO sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial yang berlebihan. 

BACA JUGA:Ramadhan Mewujudkan Ekonomi Madani di Indonesia

Ia mendorong individu untuk sentiasa mengikuti perkembangan terkini di platform atau disebut FYP (For Your Page), yang membawa kepada penggunaan media sosial yang bermasalah dan tingkah laku phubbing atau terlalu fokus pada ponsel (Franchina et al., 2018; Elhai et al., 2020).

Dalam fenomena TikTok ini, FOMO mendorong pengguna untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain di TikTok. Hal ini dapat menciptakan ketidakpuasan terhadap citra diri, terutama ketika mereka merasa tidak cukup menarik, sukses, atau populer dibandingkan dengan pengguna lain yang menampilkan kehidupan yang tampak sempurna.

Walaupun seperti itu, beberapa riset mengabarkan bahwa TikTok dapat menjadi alat pembelajaran bahasa yang efektif, terutama dalam meningkatkan keterampilan mendengar dan berbicara. 

Penelitian menunjukkan bahwa video pengajaran bahasa Inggris di platform ini mampu membantu pelajar dalam mengasah kemampuan berbahasa mereka (De Matta et al., 2023; Hongsa et al., 2023). 

Selain itu, penggunaannya dalam proses pembelajaran juga berkontribusi pada peningkatan motivasi serta kreativitas siswa, menjadikan pembelajaran lebih menarik dan interaktif (Hongsa et al., 2023; Putri et al., 2023).

TikTok, ibarat ombak di samudra digital. Ia bisa mengangkat siapa saja ke puncak ketenaran dalam sekejap, namun bisa pula menghempaskan mereka kembali ke dasar dengan cepat. 

BACA JUGA:Ancaman Larangan TikTok, Platform RedNote Jadi Alternatif Baru Pengguna di AS

Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia maya bukan sekadar arena hiburan, melainkan juga cerminan dari perubahan sosial yang lebih luas. Agar tetap berlayar dengan selamat di gelombang ketenaran ini, diperlukan kebijaksanaan dalam memanfaatkannya. Pendidikan literasi media harus menjadi tameng, membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis agar tidak terjebak dalam euforia sesaat.

TikTok bisa menjadi ruang yang positif jika digunakan secara bijak—sebagai wadah ekspresi kreatif, sarana pembelajaran, dan alat untuk membangun jejaring sosial yang bermakna. Namun, batas antara manfaat dan mudaratnya begitu tipis, sehingga kesadaran akan konsekuensi harus selalu dikedepankan. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan