Mari Berandai-andai Jika Tiba-tiba 1 Dolar AS Setara Rp8.170
Petugas menunjukan uang pecahan dolar AS dan rupiah di Bank BSI, Jakarta, Selasa (3/9/2024)-Muhammad Adimaja/Spt-ANTARA FOTO
BACA JUGA:Strategi Kendalikan Inflasi Dampak Kenaikan Harga Bahan Pokok
Tidak hanya yen Jepang, ada contoh historis lainnya dari sejumlah mata uang lain yang mengalami tingkat apresiasi yang secara cepat selama jangka waktu beberapa tahun, tetapi dampaknya malah menimbulkan efek yang negatif pada jangka panjang terhadap sejumlah indikator sosioperekonomian dari negara itu.
Krona Islandia
Krona, mata uang Islandia, mengalami apresiasi yang kuat antara tahun 2001 dan 2008, meningkat lebih dari 40 persen terhadap euro selama periode ini. Penguatan krona ini didorong kombinasi beberapa faktor, termasuk tingginya suku bunga di Islandia yang menarik modal asing, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat yang dipicu oleh pertumbuhan yang kuat di sektor-sektor seperti pariwisata, perikanan, dan perbankan.
Namun, Islandia pada 2008 mengalami krisis setelah krisis finansial global yang bermula di AS menyebar ke Eropa, ditambah tiga bank terbesar di Islandia gagal memenuhi kewajibannya sehingga membuat sektor perbankan ambruk akibat terjadinya investasi berisiko dan sangat sembrono.
Bank-bank tersebut banyak terlibat di pasar internasional, meminjam uang dari investor asing dan berkembang pesat, seringkali melalui instrumen keuangan yang rumit dan bersifat sangat kompleks. Faktor pinjaman luar negeri yang berlebihan, didorong kurangnya regulasi dan pengawasan keuangan yang memadai, merupakan pemicu keruntuhan dari krisis keuangan di Islandia ketika itu.
BACA JUGA:Tantangan dan Pencapaian 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
Meski bukan menjadi penyebab utama, terapresiasinya krona dengan cepat dapat disebut sebagai salah satu faktor pemicu. Hal itu karena menjelang krisis, krona dipandang sebagai mata uang dengan imbal hasil tinggi, sehingga menarik investor asing yang mencari imbal hasil lebih baik dalam perekonomian Islandia yang berkembang pesat.
Ketika krona terapresiasi, hutang ini menjadi lebih murah dalam bentuk mata uang Islandia itu, sehingga mendorong terjadinya peminjaman. Namun, ketika mata uang krona mulai terdepresiasi secara tajam setelah krisis tersebut (yang merupakan konsekuensi alami dari runtuhnya sektor perbankan dan hilangnya kepercayaan investor), utang dalam mata uang asing ini melonjakkan biayanya, memberikan tekanan yang sangat besar pada peminjam dan sistem keuangan Islandia.
Berbagai peristiwa dalam lintasan sejarah perekonomian global itu membuat Indonesia dapat mengambil pelajaran. Salah satunya adalah, secara umum terjadinya apresiasi mata uang yang cepat dapat menjadi pedang bermata dua.
Meskipun hal ini dapat memberikan beberapa manfaat jangka pendek seperti mengurangi biaya impor dan menandakan kekuatan ekonomi, risiko dan tantangannya sering kali lebih besar daripada dampak positifnya, terutama jika perekonomian terlalu bergantung pada ekspor atau banyaknya spekulasi di sektor keuangan.
Apresiasi mata uang yang cepat (seperti tiba-tiba 1 dolar setara Rp8170) memang dapat memberikan beberapa manfaat, tetapi sering kali mengandung peringatan dan risiko signifikan yang memerlukan pengelolaan yang hati-hati.
Untuk itu, lebih baik bila dilakukan pendekatan perubahan mata uang yang lebih bertahap, serta didukung oleh kebijakan ekonomi yang kuat dan reformasi struktural, sehingga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. (antara)
Oleh: M Razi Rahman