Akhir Perang Ukraina Dalam Kendali Donald Trump
Foto arsip: Kavaleri Ukraina saat latihan militer di Ukraina timur pada 13 Mei 2016. Bagian terbesar Ukraina timur diduduki Rusia sejak pasukan pemerintahan Presiden Vladimir Putin menginvasi Ukraina pada Februari 2022. --(Kementerian Pertahanan Ukraina via Wikimedia Commons)
Jika berdasarkan spektrum pemilih Republik dan Demokrat, 36 persen pemilih Republik menginginkan AS tetap membantu Ukraina. Pada pemilih Demokrat angka itu jauh lebih besar, mencapai 65 persen.
BACA JUGA:Garuda dan Gaung Indonesia di Tanah Genghis Khan Mongolia
Semua kelelahan
Opini publik itu tak boleh diabaikan Trump karena bisa merusak tingkat kepuasan publik kepadanya nanti. Akan membahayakan jika diabaikan karena bisa menggoyahkan posisi Republik di parlemen sehingga menyulitkan kerja pemerintahan Trump.
AS akan menggelar pemilu sela pada 2026, untuk memilih kembali anggota DPR. Jika pemilu sela itu membuat Demokrat kembali menjadi mayoritas di parlemen karena sebagian besar rakyat tak puas atas kebijakan-kebijakan Trump termasuk di Ukraina, maka posisi Trump ada dalam bahaya.
Semua skenario itu membuat pengakhiran perang di Ukraian terlihat pelik untuk siapa pun.
Tapi paling tidak, Trump bisa memanfaatkan kelelahan yang dialami Rusia dan Ukraina akibat perang itu.
Jajak pendapat Gallup yang dirilis 19 November 2024 mengungkapkan 52 persen rakyat Ukraina menginginkan perang segera diakhiri. Hanya 38 persen yang menginginkan Ukraina terus berperang sampai menang.
Kelelahan juga dialami Rusia. Beberapa jajak pendapat yang diadakan kelompok oposisi Rusia, menunjukkan dukungan kepada perang di Ukraina, tak lagi sebesar dulu.
Perang Ukraina sendiri telah menyulitkan kehidupan ekonomi rakyat Rusia, yang menurut beberapa laporan telah menaikkan inflasi hingga 7,4 persen pada Januari 2024 sehingga rakyat Rusia kesulitan membeli pangan dan sandang.
Kesulitan ekonomi sebagai dampak perang Ukraina itu dilukiskan oleh koran ternama Rusia, Moskovsky Komsomolets, pada Maret 2024.
Koran itu mengungkapkan rakyat Rusia ingin hidup tenang, tapi justru disulitkan oleh perang berkepanjangan dan kebijakan pengetatan ikat pinggang yang tak tahu berlaku sampai kapan.
Hanya karena lalu lintas informasi di Rusia tidak seterbuka di Ukraina saja, opini publik di Rusia tak terekspos luas.
BACA JUGA:Mencegah Pelaporan Guru, Meningkatkan Sinergi dengan Orang Tua Siswa
Yang jelas, energi Rusia tersita banyak di Ukraina sampai harus menurunkan skala kontingensi kekuatan militernya di sejumlah negara, termasuk Suriah di mana rezim Bashar Al Ashad tumbang di tangan pasukan koalisi perlawanan anti-Bashar pimpinan Hayat Tahrir al Sham.