AI yang Haus: Krisis Air di Balik Revolusi Digital
Data center dengan teknologi AI yang dikembangkan Schneider Electric bersama NVIDIA-Schneider electric-Antara/HO
Pulau Jawa, yang menampung lebih dari 60% penduduk Indonesia, kini berada dalam kondisi kritis. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa 80% wilayah Jawa mengalami penurunan cadangan air tanah, sementara 35% wilayah berstatus rentan kekeringan ekstrem.
BACA JUGA:Mematri Gerakan Energi Lestari dari Sekolah Berdikari
Di tengah situasi itu, pembangunan pusat data baru di kawasan Bekasi, Karawang, dan Tangerang justru menambah tekanan. Jika tidak ada kebijakan konservasi air yang ketat, kita bisa menghadapi kompetisi air antara manusia dan mesin dalam waktu dekat.
Pertanyaan kuncinya Adalah apakah pembangunan ekonomi digital harus mengorbankan keberlanjutan lingkungan? Untuk menjawabnya, Indonesia perlu menata ulang strategi pembangunan data center dengan menempatkan daya dukung air sebagai variabel utama dalam setiap izin proyek.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain dengan mewajibkan audit air (water audit) untuk semua pusat data baru, memberlakukan tarif air industri progresif agar perusahaan terdorong berhemat. mengintegrasikan teknologi daur ulang air dan pendinginan udara sebagai syarat perizinan, melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam penilaian dampak lingkungan (AMDAL) dan transparansi publik mengenai penggunaan air dan energi tiap data center. Kebijakan seperti ini akan menegaskan bahwa kedaulatan digital tidak boleh dibangun dengan mengorbankan kedaulatan ekologis.
AI membawa janji besar bagi masa depan ekonomi Indonesia dari efisiensi birokrasi, transformasi industri, hingga kemajuan pendidikan. Tetapi, kemajuan tersebut hanya akan berarti jika dibangun di atas pondasi keberlanjutan ekologis. Air adalah hak publik, bukan sekadar input industri. Maka, pembelaan terhadap sumber air bukanlah anti-teknologi, melainkan upaya mendefinisikan ulang arti kemajuan yang sejati: kemajuan yang tidak menghancurkan fondasi kehidupan itu sendiri.
BACA JUGA:Menata Ulang Insentif Pajak Melalui Sunset Clause Policy
Revolusi AI memang tak terhindarkan. Namun, seperti setiap revolusi sebelumnya, ia menuntut keseimbangan baru antara ambisi dan tanggung jawab.
Jika Indonesia ingin menjadi pemimpin ekonomi digital di Asia Tenggara, maka bangsa ini harus berani memimpin bukan hanya dalam inovasi, tetapi juga dalam etika lingkungan dan tata kelola air digital.
Kita tidak bisa membiarkan masa depan di mana server dingin, tapi bumi makin panas; data mengalir lancar, tapi air bersih makin langka.Tantangan abad ke-21 bukan hanya menciptakan AI yang cerdas, tetapi juga AI yang bijak terhadap planetnya. (ant)
Oleh: Dr.Aswin Rivai
Pemerhati Ekonomi Dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta