AI yang Haus: Krisis Air di Balik Revolusi Digital
Data center dengan teknologi AI yang dikembangkan Schneider Electric bersama NVIDIA-Schneider electric-Antara/HO
BELITONGEKSPRES.COM - Dalam imajinasi publik, kecerdasan buatan (AI) sering digambarkan sebagai jalan menuju masa depan yang efisien dan canggih yaitu mampu meningkatkan produktivitas, mengefisienkan layanan publik, hingga mempercepat pertumbuhan ekonomi digital.
Namun, di balik narasi optimisme tersebut, tersembunyi paradoks besar: revolusi digital yang digerakkan AI ternyata sangat haus air.
Air bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi kini menjadi bahan bakar tersembunyi dari era digital. Mesin yang melatih dan menjalankan model AI, dari ChatGPT hingga Google Cloud, bergantung pada sistem pendinginan yang membutuhkan jutaan liter air setiap hari untuk mencegah panas berlebih di pusat data (data center).
AI bukan hanya mengonsumsi energi listrik yang besar, tetapi juga memiliki jejak fisik yang nyata dalam bentuk konsumsi air masif, polusi, dan tekanan terhadap ekosistem lokal —isu yang kini mulai mengemuka di banyak negara, termasuk Indonesia.
BACA JUGA:Menggapai Swasembada Energi-Mineral dengan Optimalisasi Eksplorasi
Laporan Water Atlas dari Heinrich Böll Foundation (2024) menunjukkan bahwa pertumbuhan pesat pusat data AI telah memperparah kekeringan di berbagai wilayah dunia, mulai dari Chile hingga Afrika Selatan.
Di Uruguay, protes besar terjadi setelah Google mengajukan izin pembangunan pusat data saat negara itu mengalami kekeringan terparah dalam 70 tahun terakhir. Ironisnya, Google diberi izin mengambil air tawar, sementara masyarakat harus merebus air asin untuk minum.
Studi Greenpeace (2024) memperkirakan konsumsi air global oleh pusat data akan meningkat dari 239 miliar liter (2024) menjadi 664 miliar liter per tahun (2030) setara dengan kebutuhan air lebih dari 10 juta rumah tangga.
Pelatihan model AI seperti GPT-3 saja diperkirakan memerlukan sekitar 700.000 liter air hanya untuk sistem pendingin. Ini belum termasuk air yang digunakan dalam produksi energi listrik dan manufaktur chip semikonduktor.
BACA JUGA:Mengukur Dampak 'Advance Ruling' Terhadap Perbaikan Iklim Investasi
Dengan kata lain, semakin besar model AI yang dikembangkan, semakin besar pula biaya ekologisnya dan air adalah komponen utama yang tidak terlihat dalam neraca ekonomi digital.
Jejaknya di Indonesia
Indonesia, dengan populasi digital terbesar keempat di dunia, kini menjadi medan baru ekspansi infrastruktur data global. Pemerintah melalui Kementerian Kominfo tengah membangun Pusat Data Nasional (PDN) di Cikarang, serta memberikan izin bagi sejumlah perusahaan besar seperti Google, Amazon Web Services (AWS), dan Microsoft untuk membuka pusat data di Batam, Bekasi, dan Tangerang.
Namun, di balik ambisi menjadi “poros ekonomi digital ASEAN”, muncul kekhawatiran mengenai daya dukung lingkungan dan ketersediaan air.
Batam menjadi lokasi strategis karena kedekatannya dengan Singapura dan konektivitas internet global. Namun, pulau ini memiliki kapasitas air baku yang terbatas. Sumber utama air Batam berasal dari tiga waduk besar: Duriangkang, Sei Harapan, dan Tembesi.