Baca Koran belitongekspres Online - Belitong Ekspres

Menaklukkan Tambora

Para pendaki menikmati matahari terbit di atas puncak Gunung Tambora yang berada di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat-Ady Ardiansah-ANTARA

Mereka menyempatkan diri berjalan menuju titik yang disebut The Sound Off Caldera. Ketika seseorang berteriak dari bibir kaldera, gema suaranya memantul kembali, seperti nyanyian dari perut bumi. Kini, dinding bertulisan The Sound Off Caldera telah runtuh sebagian akibat badai meninggalkan luka visual yang menyayat ruang kenangan para pendaki.

Di tengah sunyi, aba-aba terdengar dari salah seorang petugas Balai Taman Nasional Tambora untuk bersiap melanjutkan perjalanan sebelum malam.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 17.00 WITA. Suhu yang sebelumnya hangat mulai terasa menyengat tulang. Udara gunung berubah cepat menusuk dari telapak kaki hingga ke ruas punggung.

Ketinggian saat itu telah mencapai 1.825 meter di atas permukaan laut. Mereka segera mengenakan jaket ganda, sarung tangan, menyesuaikan senter kepala, dan mengecek perlengkapan pribadi.

Kabut turun perlahan membungkus jalur setapak, seperti tirai tipis yang dijatuhkan oleh alam. Aroma tanah basah, angin pegunungan, dan embusan kabut menjadi penanda bahwa perjalanan dari Pos III menuju Pos Bayangan (antara Pos IV dan Pos V) tak hanya tentang jarak melainkan ujian ketahanan fisik dan mental.

Menuju Pos V

BACA JUGA:Mengurai Akar Premanisme Ormas Lewat Strategi Ekonomi Inklusif

Perjalanan 1 jam 20 menit ditempuh dalam hening. Tak banyak suara, kecuali desir angin dan gesekan langkah di tanah basah. Saat tiba di Pos Bayangan, suhu udara turun drastis.

Jarak pandang terbatas hanya sekitar lima meter. Waktu menunjukkan pukul 18.25 WITA. Suara burung hantu dan makhluk malam menyertai perjalanan para pendaki, seperti bisikan masa lalu yang hidup kembali.

Pukul 19.50 WITA, rombongan pendaki tiba di Pos V pada ketinggian 2.050 meter di atas permukaan laut. Itulah pos terakhir sebelum mendaki ke puncak Gunung Tambora, tempat paling nyaman untuk bermalam agar siap menyambut summit attack saat dini hari.

Malam itu, Gunung Tambora tampak tidak bersahabat. Angin berhembus panjang. Kabut makin tebal. Tak lama, hujan deras mengguyur tenda dan shelter tua peninggalan masa awal pendakian.

Para pendaki berteduh rapat, memeluk hangat tubuh sendiri, menanti malam benar-benar larut.

Hujan reda jelang tengah malam, tapi rasa dingin belum jua pergi. Kabut tetap menggantung. Tepat pukul 04.20 WITA, mereka memulai perjalanan menuju puncak Gunung Tambora.

BACA JUGA:Mengurai Akar Premanisme Ormas Lewat Strategi Ekonomi Inklusif

Langkah kaki pelan, senter kepala menyorot jalan yang berpasir dan curam. Oksigen semakin tipis dan napas semakin pendek. Tak ada percakapan, hanya desahan dan gumam kecil yang bertahan melawan rasa kantuk dan beban ransel.

Di satu lekukan jalur, sebagian rombongan berhenti. Jaket dibuka, alas dibentang, dan salat Subuh berjamaah dilaksanakan di bawah langit terbuka. Suara takbir dan doa mengalun lirih di antara batu dan dingin.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan