Menaklukkan Tambora
Para pendaki menikmati matahari terbit di atas puncak Gunung Tambora yang berada di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat-Ady Ardiansah-ANTARA
Hutan itu tidak hanya menyimpan flora dan fauna, tetapi juga sejarah dan harapan yang menyertai setiap perjalanan.
BACA JUGA:Tambang Ancaman Nyata Ekosistem Laut Raja Ampat: Biodiversitas Laut Dunia di Ujung Tanduk
Mesin mobil terus meraung, suspensi diuji, dan tubuh berguncang. Namun, tak ada keluh. Di setiap tikungan dan tanjakan terasa semacam kesepakatan diam semua tahu bahwa Tambora tak memberi jalan mudah, tetapi selalu menjanjikan ganjaran di bagian paling ujung.
Dari Desa Piong menuju Desa Oi Saro, angin kering terus menerpa tubuh para pendaki. Setelah sekitar 15 menit, mereka masuk ke pintu rimba. Dedaunan pohon menyambut selayaknya gerbang semesta dengan berbagai kesulitan dan kesunyian.
Jalur menuju Pos I hingga Pos II masih diwarnai panas dan medan terbuka. Melewati menara pemantau dengan medan jalan tanah bergelombang, kadang keras, kadang rapuh. Batu-batu tajam seperti gigi naga mengintai ban kendaraan.
Sungai kering dengan dasar terjal beberapa kali membuat laju kendaraan terhenti. Namun, pengemudi yang menjadi pawang roda besi tampak sudah bersatu dengan alam. Waktu tempuh yang dilewati saat itu kurang lebih 1 jam 35 menit.
BACA JUGA:Impor Beras Versus Pengadaan Domestik
Ketika memasuki Pos II ke Pos III, jantung pendaki mulai berdetak kencang. Jalur menanjak dengan sudut kemiringan ekstrem, tampak pepohonan rindang dan akar-akar besar menjulur seperti tangan-tangan yang menjuntai.
Di kiri tebing dan di kanan jurang, kendaraan harus berjalan pelan di atas garis tipis antara keberanian dan kehati-hatian. Ban tergelincir sedikit, seluruh badan seolah terlempar ke ruang hampa. Getaran mesin, dentuman suspensi yang menghantam batu, dan sorak kecil dari dalam kabin membuat setiap menit terasa seperti petualangan di batas logika.
Sebelum tiba di Pos III, kendaraan pendaki mencapai satu titik tanjakan yang disebut warga setempat sebagai "tenggorokan naga". Raungan mesin mulai terdengar mengerang dan di situlah semua berubah.
Sebuah kendaraan penggerak ganda mendadak berhenti tepat di tengah lintasan yang menanjak hampir tegak lurus, kemiringan nyaris 80 derajat, tanah liat licin, dan tebing menganga di sisi kiri.
Mobil itu meraung, lalu seketika diam. Suara mesin bergetar, lalu menggigil dalam keraguan. Di dalam kabin sang pengemudi tampak kaku seolah terkurung di antara gas yang tak sepenuhnya ia injak dan keyakinan yang tak sepenuhnya ia genggam.
Menjelang senja, ketika cahaya mentari merunduk di balik pucuk pepohonan hutan tropis, Johan bersama puluhan pendaki lainnya tiba di Pos III. Udara perlahan berubah menjadi lembab dan segar dengan aroma dedaunan basah serta tanah yang baru disirami hujan.
BACA JUGA:Mencari Manusia di Tumpukan Robot dan Kecerdasan Buatan
Jejak rusa dan babi hutan tampak samar di tanah berlumpur. Di kejauhan, burung-burung endemik bersahutan.