JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) tata niaga timah di Bangka Belitung (Babel) periode 2015-2022 memunculkan banyak pertanyaan dari kalangan ahli hukum.
Fokus utamanya adalah mengenai besaran kerugian negara yang diperdebatkan dan lembaga yang dianggap tidak tepat dalam menghitung kerugian tata niaga timah di IUP PT Timah tersebut.
Hal ini dinilai menjadi tantangan moral bagi para hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang menyidangkan kasus korupsi timah yang sebelum disebut merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Prof Romli Atmasasmita, ahli hukum sekaligus saksi ahli dalam kasus korupsi tersebut, menyebut bahwa situasi ini menempatkan hakim dalam posisi sulit.
BACA JUGA:Bareskrim Polri Amankan Puluhan Ton Timah Ilegal Diduga dari Belitung, Kadiv Humas Belum Merespon
“Hakim sering berada di posisi dilematis. Dibebaskan salah, tidak dibebaskan bisa dianggap dosa. Kita lihat saja nanti mereka masuk surga atau neraka,” ujarnya dalam sidang terbuka yang digelar pada Senin 25 November 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Babel ini melibatkan beberapa terdakwa dari pihak swasta, seperti Tamron, Hasan Tjhi, Ahmad Albani, dan Buyung (Kwan Yung).
Kritik Metode Penghitungan Kerugian Negara
Prof Romli, yang juga salah satu perancang Undang-undang Tipikor, dengan tegas mengkritik metode penghitungan kerugian negara dalam perkara ini.
Menurutnya, penghitungan kerugian negara seharusnya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
BACA JUGA:Keponakan Prabowo Siap Bangun Smelter Timah di Belitung, Jika Isyak-Masdar Menang Pilkada
“Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam undang-undang. Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan,” jelas Prof Romli.
Prof Romli juga menambahkan bahwa pengukuran kerugian lingkungan bukan menjadi wewenang BPK atau BPKP, melainkan ahli lingkungan.
Pendapat ini menggarisbawahi pentingnya penggunaan lembaga yang tepat dalam mengukur berbagai jenis kerugian agar keputusan hukum tidak terkesan dipaksakan.
Kasus ini tidak hanya menjadi ujian berat bagi para hakim, tetapi juga menggambarkan kompleksitas dalam penanganan perkara Tipikor, terutama ketika melibatkan pihak swasta dan aspek lingkungan.