Apindo Minta Penundaan Penerapan PPN 12 Persen, Celios Khawatirkan Meningkatnya Peredaran Barang Ilegal

Rabu 20 Nov 2024 - 22:43 WIB
Reporter : Erry Frayudi
Editor : Erry Frayudi

BELITONGEKSPRES.COM - Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 

Namun, langkah ini menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk pelaku usaha, yang menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian.

Shinta Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyatakan bahwa waktu penerapan kenaikan PPN kurang tepat, terutama ketika perekonomian belum sepenuhnya pulih. 

Menurutnya, kebijakan semacam ini sebaiknya diterapkan saat pertumbuhan ekonomi sedang tinggi, agar tidak memberatkan masyarakat dan pelaku usaha. Kenaikan tarif PPN yang akan membuat barang dan jasa di sektor formal lebih mahal, diperkirakan akan mengurangi daya beli masyarakat dan penjualan pelaku usaha.

BACA JUGA:Brigade Swasembada Pangan: Program Baru Kementan Dapat Anggaran Rp30 Triliun

BACA JUGA:Harga Minyakita Melonjak di Atas HET, Kemendag Rencanakan Pertemuan dengan Distributor

Tantangan lainnya adalah seruan dari masyarakat untuk mengurangi pengeluaran, yang dapat memperburuk kondisi perekonomian, mengingat konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Di sisi lain, Bhima Yudhistira dari Center for Economic and Law Studies (Celios) mengingatkan bahwa pencarian barang murah yang tidak dikenai pajak justru dapat meningkatkan peredaran barang ilegal di pasar.

Sebagai solusi, Ghufron Mustaqim, Sekretaris Jenderal Serikat Usaha Muhammadiyah (Sumu), mengusulkan beberapa kebijakan afirmatif untuk mendukung daya saing UMKM, yang dapat membantu menanggulangi dampak dari kenaikan tarif PPN. 

Salah satunya adalah menaikkan batas pengusaha kena pajak (PKP) dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 15 miliar per tahun, guna memberikan ruang lebih luas bagi UMKM. Selain itu, Ghufron juga mengusulkan peningkatan batas atas kredit usaha rakyat (KUR) untuk membantu UMKM naik kelas, serta penurunan tarif PPh badan.

Dalam perkembangan lain, Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, yang berarti pemerintah akan kembali meluncurkan program tax amnesty jilid III. 

BACA JUGA:QRIS Kini Tersambung di Tiga Negara, BI Siapkan Kerja Sama dengan Negara Lain

BACA JUGA:Lindungi Industri Lokal: Kemendag Dorong Ekspor Produk UMKM dan Perketat Pengawasan Impor

Bhima menilai bahwa pengampunan pajak semacam ini justru dapat merusak kepatuhan wajib pajak dan menciptakan ketidakadilan sosial, terutama dengan adanya kenaikan tarif PPN yang berdampak pada daya beli masyarakat. 

Kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi pelaku usaha dan berisiko menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, terutama di sektor ritel dan industri pengolahan.

Kategori :