BELITONGEKSPRES.COM - Pengamat kebijakan publik Dwijo Suyono mengkritik rancangan peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur bahwa rokok harus diproduksi dengan kemasan polos, sebuah kebijakan yang menurutnya bisa merugikan industri tembakau.
Dalam diskusi bertema Dampak Polemik Regulasi Nasional Terhadap Ekosistem Pertembakauan yang berlangsung di Solo, Jawa Tengah, Kamis, Dwijo menegaskan pentingnya aturan yang mendukung perkembangan ekosistem pertembakauan tanpa memberatkan pelaku industri.
Dia menyoroti kontribusi besar yang diberikan sektor ini terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2023, sektor rokok menyumbang pajak sebesar Rp213,48 triliun, yang setara dengan hampir 10 persen dari total APBN yang mencapai sekitar Rp2.000 triliun. Meski demikian, ia mengeluhkan bahwa industri ini justru semakin ditekan dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) SPSI Andreas Hua. Ia menilai bahwa penerapan kemasan polos dapat mempersulit pemasaran rokok dan mengurangi omzet perusahaan.
BACA JUGA:Dukung Transisi Energi, PLN Nusantara Power Tampilkan Proyek Hijau di Electricity Connect 2024
BACA JUGA:Pemerintah Tengah Menyusun Pedoman Kebijakan Penghapusan Piutang Macet UMKM
Menurutnya, jika pendapatan perusahaan menurun, dampaknya akan langsung dirasakan oleh tenaga kerja, yang kemungkinan akan menghadapi penurunan upah atau bahkan pengurangan tenaga kerja.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng, Nanang Teguh Sambodo, melaporkan bahwa saat ini petani tembakau mulai merasakan dampak dari kebijakan ini.
Ia mengungkapkan bahwa industri tembakau kini membatasi pembelian tembakau dari petani, sebuah langkah yang menyebabkan ketidakpastian di kalangan petani yang sebelumnya bisa menjual produk mereka dalam jumlah lebih besar. (ant)