Dalam dunia yang kian terhubung globalisasi, banyak orang telah menjalani persahabatan, bahkan lintas budaya. Perbedaan dalam pola pikir dan kebiasaan antara 2 orang dari latar belakang budaya yang berbeda acap kali bisa menjadi sumber kebingungan atau bahkan konflik.
Bayangkan 2 teman yang telah lama bersahabat, namun tumbuh di 2 tempat berbeda. Yang satu bernama Dedy, ia dibesarkan dalam lingkungan kolektivis, yang mana nilai kebersamaan dan harmoni sosial adalah prioritas. Ia juga sangat menghormati orang yang lebih tua, karena budayanya mengajarkan keberadaan hierarki (tingkatan) sosial.
Sementara itu, yang satunya lagi bernama Rusdi. Ia tumbuh dalam budaya yang lebih individualistis, di mana pencapaian pribadi dan kebebasan pribadi adalah esensial. Ia juga menjadi orang yang egaliter, yang mana ia menganggap bahwa semua orang setara/ sama.
Hubungan persahabatan mereka tampak harmonis. Namun ada momen-momen kecil yang membuat mereka menyadari perbedaan mendasar dalam cara pandang mereka terhadap dunia ini dibentuk. Baik itu oleh kepribadiaan dan lingkungan sosial mereka, seperti keluarga, circle pertemanan, pekerjaan, tempat tinggal, hingga budaya.
Namun, memahami kedua jenis dimensi nilai budaya ini tidaklah sekadar membandingkan. Kedua dimensi, yakni individualistis-kolektivis dan hierarki-egalitarianisme ini membentuk cara kita berinteraksi, membuat keputusan, hingga menyusun hubungan sosial. Di sebuah persimpangan dunia, dimensi-dimensi nilai budaya ini hadir dalam spektrum luas yang acap kali berseberangan.
BACA JUGA:Memacu Daya Saing 'Emas Hijau' di Pesisir Utara Jawa Barat
Dari generasi ke generasi, manusia mengembangkan cara pandang tentang dunia yang membentuk relasi, pekerjaan, hingga cara hidup mereka. Ketika peradaban bertemu dan pandangan bertukar, lahir sebuah kebutuhan mendasar untuk memahami perbedaan dengan cara yang lebih luas, tanpa prasangka.
Di sinilah konsep generalisasi budaya yang terinformasi menjadi relevan. Geert Hofstede (1980) mengatakan bahwa budaya yang berbeda-beda memerlukan pendekatan yang berbeda pula untuk memahami nuansa di dalamnya. Ia juga mengatakan bahwa dengan pemahaman akan keragaman budaya, seseorang akan lebih siap memahami dunia yang semakin terkoneksi (Hofstede, 1980).
Berdasarkan materi yang penulis terima dari program America Field Service (AFS) Global STEM Educators 2024, generalisasi yang terinformasi tidak hanya bergantung pada kecenderungan umum yang ada di masyarakat, tetapi juga menjelajahi akar dari 2 dimensi nilai budaya yang mendasarinya. Kedua dimensi yang penulis pelajari ini antara lain; 1) Individualisme versus Kolektivisme; dan 2) Hierarki versus Egalitarianisme.
Dimensi-dimensi ini bukan sekadar gagasan abstrak, namun konsep yang hidup dalam tindakan sehari-hari dari berbagai kelompok manusia. Ihwal ini termasuk dalam cara orang berinteraksi, bekerja, hingga saling mendukung. Pemahaman tentang dimensi-dimensi nilai budaya ini memberi panduan bagi kita untuk menjelajahi keberagaman yang ada, menggali arti dari relasi sosial, dan memaknai peran diri kita sendiri di dalamnya.
BACA JUGA:Perlinsos, Ikhtiar Menaikkan Kelas Masyarakat Pra-Sejahtera
Di tengah diversitas pemahaman budaya, para pendidik yang lulus seleksi dari seluruh dunia berkumpul dalam program AFS Global STEM Educators 2024. Materi “Culture Value Dimensions” mengajak para peserta untuk melihat lebih dekat bagaimana nilai-nilai budaya membentuk dunia sosial dan puzzle-puzzle di dalamnya.
Dalam sesi-sesi interaktif, para peserta tidak hanya mempelajari konsep, tetapi juga menerapkan pemahaman tersebut melalui diskusi lintas budaya. Pemahaman budaya adalah inti dari keterampilan abad ke-21 yang mendasar dan literasi budaya penting untuk membangun hubungan yang berkesinambungan dalam konteks internasional (Bennett, 1993).
Belajar mengenai dimensi-dimensi nilai budaya ini memiliki tujuan penting, yakni menciptakan masyarakat yang saling respek, yang tidak hanya menerima perbedaan tetapi juga menghargainya sebagai bagian dari kekayaan manusia. Dimensi Individualistis & Kolektivis, serta Hierarki & Egalitarianisme menjadi pijakan utama dalam memahami bagaimana individu dan kelompok berinteraksi.
Dengan memahami kedua dimensi ini, seseorang akan mampu mengidentifikasi pola-pola yang membedakan, namun juga menyatukan berbagai budaya. Edward T. Hall, ahli dalam komunikasi lintas budaya, menyebutkan bahwa nilai-nilai budaya adalah lensa melalui mana kita melihat dan menafsirkan dunia (Hall, 1976).