Selain itu, memahami dimensi ini menawarkan manfaat praktis. Misalnya dalam dunia kerja, seseorang yang paham tentang kolektivisme di Asia Timur atau individualisme di Amerika Utara akan lebih siap untuk bekerja sama lintas budaya. Begitu pula dalam lingkungan sosial, pemahaman ini mengajarkan toleransi, menjembatani konflik yang berpotensi timbul akibat perbedaan perspektif. Alhasil, ihwal ini akan mendorong kolaborasi yang lebih harmonis.
BACA JUGA:Deflasi Berkepanjangan: Pilih Bertahan atau Banting Setir?
Individualistis Vs Kolektivis
Dalam materi AFS (2024), Individualistis lebih menekankan kebebasan individu, tanggung jawab pribadi, dan prestasi. Sementara itu, kolektivis lebih menonjolkan kepentingan kelompok, harmoni, dan rasa kebersamaan. Geert Hofstede (1980) mengutarakan bahwa masyarakat di negara seperti Amerika Serikat dan Inggris cenderung individualistis, sedangkan budaya di Jepang atau Indonesia lebih kolektivis.
Budaya individualistis cenderung melihat individu sebagai unit utama dalam masyarakat. Mereka menghargai kebebasan pribadi dan kemandirian. Sementara itu, masyarakat kolektivis cenderung menganggap kelompok sebagai unit utama, di mana harmoni dan dukungan sosial sangat penting. (Hofstede, 1980).
Contoh nyata terlihat dalam lingkungan kerja. Misalnya pada lingkungan perusahaan di Jepang, yang mana keputusan cenderung diambil melalui proses konsultasi kelompok atau rapat panjang yang melibatkan banyak pihak. Hubungan antaranggota masyarakat di Jepang cenderung lebih erat, dan kepentingan kelompok lebih diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi.
Sebaliknya, di banyak perusahaan AS, keputusan cenderung diambil secara cepat oleh pemimpin dengan otonomi tinggi tanpa banyak konsultasi. Kolektivisme ini menciptakan lingkungan kerja yang lebih kolaboratif namun bisa melambatkan proses, sementara individualisme mendukung efisiensi, meski terkadang menimbulkan friksi antar individu.
BACA JUGA:Menilik Lini Bisnis Sritex Usai Pailit
Dimensi Individualistis dan Kolektivis menggambarkan cara pandang masyarakat terhadap identitas individu dalam komunitasnya. Budaya individualistis, seperti yang terlihat di Amerika Serikat, menghargai kemandirian, prestasi pribadi, dan hak asasi individu.
Dimensi Hierarki Vs Egalitarianisme
Pada materi AFS (2024), dimensi Hierarki vs Egalitarianisme berkaitan dengan bagaimana masyarakat memandang kesetaraan dan struktur kekuasaan. Di budaya hierarkis pada beberapa kelompok masyarakat di Asia, ada penghormatan mendalam terhadap senioritas, status, dan keturunan. Hierarki menciptakan struktur jelas. Misalnya dalam hubungan antara atasan dan bawahan atau orang tua dan anak.
Sebaliknya, budaya egalitarianisme menekankan kesetaraan dan penghapusan batas-batas kekuasaan yang kaku. Contohnya di beberapa negara Eropa seperti Swedia dan Denmark, masyarakatnya cenderung lebih egaliter. Yang mana, anak-anak bisa berbicara dengan orang tua mereka tanpa rasa takut atau terintimidasi.
Harry Triandis (1995) menjelaskan bahwa kultur egaliter cenderung memberikan nilai yang sama pada setiap orang, terlepas dari jabatan atau usia. Sementara budaya hierarkis membagi masyarakat berdasarkan status, memberikan panduan yang jelas tentang siapa yang memimpin dan siapa yang mengikuti (Triandis, 1995).
Contoh sehari-hari dari perbedaan-perbedaan ini bisa dilihat di sekolah. Di Jepang, siswa dibiasakan untuk menghormati guru dan mendengarkan secara seksama. Sedangkan di negara egaliter seperti Belanda, siswa didorong untuk lebih aktif mengutarakan pendapat mereka dan mengkritisi tanpa takut menghadapi sanksi.
BACA JUGA:Optimisme Sepak Bola Indonesia Mendunia
Mengelola Dimensi Nilai Budaya
Dalam dunia yang kian mengglobal, banyak orang harus menyesuaikan diri di lingkungan baru yang berbeda. Memahami dimensi Individualis vs Kolektivis, dan dimensi Hierarki vs Egalitarianisme ini penting di berbagai bidang, baik itu dalam dunia pendidikan, politik, bisnis internasional, hingga sosial kultural.
Pemahaman akan dimensi-dimensi ini dapat meningkatkan harmoni di lingkungan lintas budaya. Ihwal ini bukan tentang benar atau salah, tapi tentang memahami keunikan dan mengelola perbedaan dengan efektif. Hal ini untuk dijadikan fondasi sebelum berinteraksi dengan orang-orang baru, mewujudkan diversitas tanpa ketegangan hingga pertikaian, hingga penyelesaian masalah-masalah sosial.
Kombinasi 2 dimensi ini juga terlihat pada kehidupan migran yang harus beradaptasi antara budaya asal dan budaya negara tempat mereka tinggal. Misalnya, seorang imigran dari Indonesia yang tinggal di Belanda, yang mana ia akan menghadapi gegar budaya (culture shock) hingga benturan budaya (culture clash) karena perbedaan budaya yang tidak ditoleransi. Walaupun di satu sisi, ia terbiasa dengan kolektivisme dan hierarki di Indonesia, namun ia juga harus belajar untuk menghargai individualisme dan egalitarianisme di tempat tinggal barunya (Belanda).